BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Di dalam kegiatan belajar mengajar, masalah terbesar
yang dialami oleh para guru dan siswa-siswa adalah motivasi. Umumnya guru
berharap agar siswa dapat memanfaatkan bakat dan waktunya selama berada di
sekolah sehingga tujuan belajar tercapai secara maksimum, sedangkan bagi siswa
(menyadari/tidak) akan berusaha mengembangkan potensi dan bakat yang mereka
miliki. Sayangnya sering kali dalam praktek, tujuan guru sering tidak sesuai
atau berbeda dengan apa yang ada dalam diri siswa, sehingga motivasi tidak
berkembang malah diabaikan.
Seperti analogi berikut, “Kita dapat menggiring kuda
ke air, tetapi kita tak dapat memaksa kuda untuk minum”. Hal yang sama akan
terjadi bila dalam suatu kelas ada beberapa siswa benci ke sekolah, malas
mengerjakan tugas-tugas dan menganggap dirinya bodoh, sebaliknya ada beberapa
siswa yang senang belajar, aktif dalam kegiatan belajar. Jika guru mencoba
memotivasi siswa dengan teknik yang sama, maka beberapa siswa akan merasa
dibangkitkan tetapi yang lain merasa dimatikan motivasinya.Tugas guru sebagai
pendidik adalah menemukan, menggugah dan mempertahankan motivasi siswa untuk
belajar dan terlibat dalam aktifitas yang menuju pada pembelajaran.
Menilai pentingnya motivasi dalam proses pembelajaran,
terlebih dalam tugas guru sebagai motivator, maka dalam makalah ini kami
membahas tentang bagaimana seorang guru dapat meningkatkan motivasi siswa untuk
belajar dan juga bagaimana seorang guru dapat memberikan ganjaran atas kinerja,
upaya dan perbaikan.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
teknik agar seorang guru dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar?
2. Bagaimana
teknik agar seorang guru dapat memberikan ganjaran atas kinerja, upaya dan
perbaikan?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui teknik agar seorang guru dapat meningkatkan motivasi siswa untuk
belajar.
2. Untuk
mengetahui teknik agar seorang guru dapat memberikan ganjaran atas kinerja,
upaya dan perbaikan.
D. Manfaat
Penulisan
1. Agar
dapat mengetahui teknik agar seorang guru dapat memberikan ganjaran atas
kinerja, upaya dan perbaikan.
2. Agar
dapat mengetahui teknik agar seorang guru dapat memberikan ganjaran atas
kinerja, upaya dan perbaikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Bagaimana
Guru Dapat Meningkatkan Motivasi Siswa untuk Belajar
Belajar
memerlukan usaha. Euclid, seorang ahli matematika yunani yang hidup sekitar
tahun 300 S.M. dan menulis buku geometri pertamanya, ditanya oleh rajanya
apakah ada jalan pintas yang dapat ia gunakan untuk belajar geometri, karena ia
orang yang sangat sibuk. “Maafkan saya,” jawab Euclid, “tidak ada jalan
kerajaan menuju geometri.” Hal yang sama berlaku untuk mata pelajaran lain.
Siswa mendapatkan hasil dari setiap mata pelajaran yang diikuti sebanyak usaha
yang telah ia curahkan untuk mata pelajaran itu.
Untuk
mengharapkan siswa benar-benar belajar demi mendapatkan hasil terbaik dari
proses pembelajaran, guru memiliki tugas untuk memotivasi siswa dalam kegiatan
belajar mengajar. Tidak ada jalan pintas
untuk belajar, siswa tersebut hanya akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa
yang ia pelajari. Maka dari itu sebagai guru, pentinglah kiranya untuk
memotivasi siswa agar tercapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Berikut
akan dijelaskan bagaimana guru dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar.
1.
Motivasi instrinsik dan
ekstrinsik
Kadang-kadang
suatu mata pelajaran begitu mengasyikkan dan berguna bagi siswa sehingga mereka
mau untuk mengerjakan tugas yang diperlukan untuk mempelajari materi pelajaran
tanpa insentif selain dari tingkat minat terhadap materi itu sendiri. Sebagai
misal, banyak siswa yang dengan senang hati mengambil kursus otomotif atau
fotografi dan bekerja keras demi kursus itu, malah meskipun bila kursus itu tidak
menjanjikan kredit atau gelar. Bagi siswa-siswa ini subyek yang favorit itu
sendiri memiliki nilai insentif intrinsik yang cukup untuk memotivasi mereka
belajar. Siswa lain senang mempelajari tentang topik-topik khusus seperti
serangga, dinosaurus, atau orang penting dalam sejarah dan memerlukan sedikit
dorongan atau ganjaran untuk belajar (Gottfried, 1990; Renninger, Hidi, &
Krapp, 1992).
Sementara
itu, banyak dari apa yang harus dipelajari di sekolah tidak dengan sendirinya
menarik atau berguna bagi kebanyakan siswa dalam jangka pendek. Siswa menerima
sekitar 900 jam pelajaran setiap tahun, dan minat instrinsik (yang terkandung
di dalam) sendirian tidak akan membuat mereka tetap antusias bekerja hari demi
hari. Khususnya motivasi instrinsik siswa umumnya menurun mulai dari
kelas-kelas awal sekolah dasar sampai sekolah menengah (Sethi, Drake, Dialdin,
& Lepper, 1995). Oleh karena alasan inilah sekolah menerapkan berbagai
macam insensif ekstrinsik, ganjaran untuk belajar yang didak melekat di dalam
materi pelajaran yangg dipelajari. Rentangan ganjaran ekstrinsik (dari luar)
dapat mulai dari pujian, nilai, pengakuan, hadiah, atau penghargaan lain.
Eksperimen
Lapper tentang Dampak Ganjaran Terhadap motivasi. Pertanyaan penting dalam
penelitian tentang motivasi berkenaan dengan apakah ya atau tidak pemberian
ganjaran ekstinsik menyurutkan minat instrinsik dalam suatu aktivitas. Dalam
suatu eksperimen klasik mencari jawaban atas pertanyaan ini, Lepper dkk. (1973)
memberi anak-anak prasekolah suatu kesempatan untuk menggambar dengan
menggunakan spidol, dan banyak di antara mereka menggambar dengan sangat
antusias. Kemudian peneliti itu membagi secara acak anak-anak itu menjadi tiga
kelompok: satu kelompok diberitahu bahwa anggota kelompoknya akan menerima
hadiah sebagai imbalan untuk melukis sebuah gambar untuk seorang pengunjung,
satu kelompok diberi hadiah yang sama sebagai suatu kejutan (tidak bergantung
kepada lukisan anak-anak itu), dan satu kelompok tidak menerima hadiah. Selama
empat hari berikutnya, pengamat mencatat kegiatan bermain-bebas anak-anak
tersebut. Anak-anak yang menerima hadiah menghabiskan waktu untuk menggambar
dengan spidol sekitar setengah dari waktu yang dihabiskan oleh anak-anak yang
mendapat hadiah sebagai kejutan dan anak-anak yang tidak mendapat hadiah.
Peneliti itu menyimpulkan bahwa menjanjikan ganjaran ekstrinsik untuk suatu
kegiatan yang sercara instrinsik menarik dapat merusak minat instrinsik dengan
membuat siswa mengharapkan suatu hadiah untuk melakukan apa yang pada mulanya
dilakukan untuk tidak menerima sesuatu. Dalam suatu penelitian yang kemudian
(Greene & Lepper, 1974), ditemukan bahwa hanya dengan memberi tahu bahwa
mereka akan diamati (melalui kaca satu-arah pandang) memiliki pengaruh yang
merusak serupa dengan pengaruh hadiah yang dijanjikan.
Apakah
Ganjaran Merusak Motivasi Instrinsik? Dalam memahami hasil-hasil penelitian
ini, penting memperhatikan kondisi-kondisi dari penelitian tersebut. Siswa yang
dipilih untuk penelitian itu adalah siswa yang nenunjukkan minat instrinsik
dalam menggunakan spidol; siswa yang tidak menunjukkan minat instrinsik di
keluarkan dari eksperimen. Demikian juga, menggambar dengan spidol tidak lazim
sebagai kebanyakan tugas sekolah. Banyak
siswa yang senang menggambar di rumah, tetapi sedikit, meskipun siswa yang
paling berminat dalam mata pelajaran sekolah, atas kemauannya sendiri akan
belajar tata bahasa dan ejaan, mrengerjakah soal-soal matematika, atau
mempelajari valensi unsur-unsur kimia. Lebih jauh lagi, banyak dari ilmuan
paling kreatif dan termotivasi -diri-sendiri memperoleh penguatan instensif
dengan nilai, hadiah lomba karya ilmiah, dan beasiswa untuk mengerjakan sains
pada masa mereka masih di bangku sekolah, dan sebenarnya semua artis yang
berhasil telah memperoleh penguatan pada suatu saat untuk keikutsertaannya
dalam aktivitas seni. Penguatan ini sudah barang tentu tidak merusak minat
instrinsik mereka. Penelitian terhadap siswa-siswa yang lebih dewasa
mengerjakan tugas-tugas yang lebih menyerupai tugas-tugas sekolah pada umumnya
telah gagal mereplikasi atau mengulang hasil-hasil eksperimen Lepper dkk, yang
dipublikasikan pada tahun 1973 itu (Cameron & Pierce, 1994; Pittman,
Boggiano, & Ruble, 1983). Pada kenyataannya, penggunaan ganjaran lebih
sering meningkatkan motivasi instrinsik, khususnya apabila ganjaran itu lebih
ditentukan oleh kualitas kinerja daripada sekedar peran serta dalam suatu
aktivitas (Deci & Ryan, 1985, 1987; Lepper, 1983), apabila ganjaran itu
dipandang sebagai pengakuan atas kompetensi (Rosenfield, Folger, & Adelman,
1980), apabila tugas yang dikerjakan tidak amat menarik (Morgan, 1984), atau
apabila ganjaran itu lebih berciri sosial (misalnya, medali) daripada materiel
(Cameron & Pierce, 1994; Chance, 1992; Miller & Hom, 1990; Ryan &
Stiller).
Penelitian
tentang pengaruh ganjaran ekstrinsik terhadap motivasi instrinsik menganjurkan
untuk berhati-hati dalam penggunaan ganjaran materiel untuk tugas-tugas yan g
menarik secara instrinsik. Guru hendaknya berupaya membuat segala sesuatu yang
mereka ajarkan semenarik mungkin secara instrinsik dan hendaknya menghindari
pemberian ganjaran materiel apabila tidak diperlukan, namun guru hendaknya
jangan menghentikan pemberian ganjaran ekstrinsik apabila diperlukan (Lepper,
1983). Sering kali, hadiah ekstrinsik mungkin diperlukan untuk memicu siswa
memulai aktivitas belajar namun dapat dihapus setahap demi setahap pada saat
siswa sudah mulai menikmati aktivitas tersebut dan berhasil menyelesaikannya
(Stipek, 1993).
2.
Bagaimana Guru Dapat
Meningkatkan Motivasi Intrinsik?
Pelajaran
dikelas harus sejauh mungkin dapat meningkatkan motivasi untuk intrinsik. Hal
ini berarti bahwa guru harus berupaya agar siswa-siswa mereka tertarik dengan
materi pelajaran yang akan dipresentasikan dan kemudian mempresentasikannya
dengan cara yang menarik sehingga memuaskan dan meningkatakan rasa ingin tahu
siswa tentang materi itu sendiri. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat
ditempuh untuk menggugah minat siswa.
a) Membangkitkan
Minat
Membangkitakan
minat penting untuk meyakinkan siswa akan penting dan menariknya materi yang
akan dipresentasikan, demikian juga penting untuk menunjukan bagaimana
pengetahuan yang diperoleh akan berguna bagi siswa. Sebagai contoh, motivasi
intrinsik untuk mempelajari materi Fisika tentang Pesawat sederhana dengan membuka
pelajaran sebagaimana berikut.
Hari
ini kita akan belajar tentang pesawat sederhana. Pesawat sederhana bukanlah
pesawat yang dibuat sederhana, melainkan alat yang digunakan untuk mempermudah
pekerjaan manusia. Pesawat sederhana ini, sangat banyak diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, apabila kita ingin memindahkan barang
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, kita dapat memindahkan barang
tersebut menggunakan papan yang dimiringkan. Hal tersebut adalah salah satu
cpntoh pesawat sederhana yaitu bidang miring. Tentunya hal tersebut akan sangat
mempermudah pekerjaan kita. Kita akan terus menerus menggunakan pesawat
sederhana, seperti bidang miring, pengungkit, katrol dan roda gigi untuk
mempermudah pekerjaan.
Selain
itu, juga dapat membuka pelajaran dengan contoh-contoh yang mengaitkan materi
pelajaran dengan latar belakang budaya. Sebagi contoh, dalam membuka pelajaran
astronomi, guru dapat mengatakan “ Selama beberapa tahun silam, suku Maya yang
hidup di Amerika Tengah mampu meramalkan kapan terjadinya gerhana bulan.
Bagaimana mereka dapat melakukannya? Nah, sekarang ini kita akan memepelajari
tentang bagaimana terjadinya gerhana bulan.
Maksud
dari pertanyaan tersebut adalah untuk membangkitkan rasa ingin tahu siswa
terhadap pelajaran yang akan diterima. Tentunya hal tersebut akan meningkatkan
motivasi intrinsik siswa untuk mempelajari materi pelajaran tersebut. Selain
itu, dengan cara memberikan siswa beberapa pilihan tentang apa yang akan mereka
pelajari dan bagaimanan mereka akan memepelajarinya, juga akan meningkatkan
minat intrinsik dari siswa tersebut.
b) Mempertahankan
Rasa Ingin Tahu
Mempertahankan
rasa ingin tahu, seorang guru seharusnya mahir menggunakan berbagai macam cara
untuk membangkitkan atau terus mempertahankan rasa ingin tahu sepanjang
pelajaran itu berlangsung. Sebagai contoh, guru Fisika, sering menggunakan
demonstrasi sebagai kejutan atau membuat siswa kagum dan menyebabkan mereka
ingin tahu mengapa. Penggaris yang digosokan di rambut, kemudian didekatkan dengan
potongan kertas, penggaris akan dapat menarik potongan kertas tersebut.
Kepingan uang logam yang mengembang membuat siswa ingin tahu tentang tegangan
permukaan zat cair.
(Berlyne,
1965 dalam Mohamad Nur) membahas konsep rasa ingin tahu epistemik (epistemic curiosity), yaitu perilaku
yang tertuju kepada perolehan pengetahuan, menguasai dan memahami lingkungan.
Ia berhipotesis bahwa rasa ingin tahu epistemik berasal dari konflik konsep,
yang terjadi saat informasi baru dirasakan bertentangan dengan pemahaman
sebelumnya. Berlyne menyarankan penggunaan secara hati-hati kejutan,
keragu-raguan, kebingungan, kekaguman, dan kontradikisi (pertentangan antara
dua hal yang berbeda) sebagai sarana untuk membangkitkan rasa ingin tahu
epistemik.
c) Menggunakan
Berbagai Macam Model Presentasi
Menggunakan
berbagai macam model presentasi yang menarik motivasi intrinsik untuk
mempelajari sesuatu dapat ditingkatkan dengan penggunaan materi yang menarik,
di samping dengan berbagi macam model presentasi (Shirley & Reynold, 1988 dalam
Mohamad Nur). Sebagai misal, minat siswa dalam suatu mata pelajaran dapat
dipertahankan dengan secara bergantian menggunakan film, pembicara tamu,
demonstrasi, dan sebagainya, meskipun penggunaan tiap-tiap sumber belajar itu
harus direncanakan dengan hati-hati untuk memastikan sumber belajar ini
mengarah pada pencapaian tujuan pelajaran dan melengkapai aktivitas-aktivitas
lainnya. Penggunaan komputer dapat meningkatkan kebanyakan motivasi intrinsik
siswa untuk belajar (Lepper, 1985 dalam Mohamad Nur).
d) Penggunaan
Permainan atau Simulasi
Satu
cara yang sangat bagus untuk meningkatakan minat dalam suatu mata pelajaran
adalah penggunaan permainan atau simulasi. Simulasi, atau bermain peran,
merupakan suatu latihan di mana siswa melakukan suatu peran dalam aktivitas-aktivitas
yang sesuai dengan peran itu. Keuntungan
simulasi memungkinkan siswa belajar
tentang suatu mata pelajaran dari dalam. Meskipun penelitian tentang penggunaan
simulasi menemukan bahwa simulasi memiliki tingkat efektivitas yang kecil atau
lebih tidak efektif untuk mengajarkan fakta dan konsep. Penelitian-penelitian
secara konsisten menemukan bahwa simulasi meningkatkan minat, motivasi, dan
pembelajaran afektif siswa (Dukes & Seider, 1978 dalam Mohamad Nur).
Simulasi sangat berperan dalam menanamkan
berbagai pengetahuan afektif dari suatu mata pelajaran.
Permainan-permainan
simulasi dapat juga meningkatkan motivasi belajar suatu mata pelajaran. Teams-Games-Tournament, atau TGT (Slavin
1955a dalam Mohamad Nur), menggunakan permaiann yang dapat diadaptasi untuk
setiap mata pelajaran. Permainan tim umumnya lebih baik daripada permainan
individual; permainan tim memberi kesempatan kepada teman setim untuk saling
membantu dan menghindari satu masalah dalam permainan individual, yaitu siswa
yang lebih mampu dapat terus menerus menang. Apabila siswa dikelompokan ke
dalam tim-tim yang anggotanya memiliki kemampuan yang berbeda-beda , seluruh
tim memiliki peluang yang sama untuk berhasil atau menang.
e) Membantu
siswa menetapkan tujuan mereka sendiri.
Satu
prinsip mendasar dari motivasi adalah bahwa orang akan bekerja lebih keras
untuk tujuan-tujuan yang mereka tetapkan sendiri daripada tujuan-tujuan yang
diperuntukan bagi mereka namun ditetapkan oleh orang lain. Sebagai misal,
seorang siswa dapat menetapkan sejumlah soal minimum yang ia harapakan untuk
mengerjakannya di rumah atau nilai yang ia harapkan dapat tercapai pada suatu
ujian yang akan datang. Pada pertemuan-penetapan tujaun berikutnya guru akan
membahas keberhasilan atau kegagalan siswa mencapai tujuan itu dan menetapkan
tujuan baru untuk selanjutnya. Dalam pertemuan-pertemuan seperti ini guru dapat
membatu siswa belajar menetapkan tujuan yang ambisius (mengandung keinginan
besar) namun masih realistis dan kan memberikan hadiah kpada mereka untuk
penetapan dan kemudian pencapaian tujuan mereka.
3.
Prinsip-prinsip dalam
Pemberian Insentif untuk Belajar
Brophy
(1987) menyatakan bahwa disamping guru berusaha untuk memperkuat motivasi
intrinsik siswa untuk belajar materi-materi akademik, pada saat yang sama guru
juga harus menaruh kepedulian terhadap timbulmya motivasi ekstrinsik
menggunakan insentif. Karena tidak semua mata pelajaran secara intrinsik
menarik bagi seluruh siswa (dalam Nur,1998) dan siswa harus dimotivasi untuk
melakukan kerja keras. Adapun insentif adalah penguatan yang dapat diharapkan
seseorang untuk mendapatkannya apabila ia melakukan suatu perilaku tertentu.
Bentuk insentif sendiri bermacam-macam. Pada insentif ekstrinsik meliputi
pujian,nilai medali, ganjaran, dan lain-lain.Hal-hal yang sangat penting
diperhatikan adalah prinsip-prinsip pemberian intensif itu sendiri. Berikut in
prinsip-prinsip pemberian insentif untuk belajar, antara lain:
a. Menyatakan
Harapan dengan Jelas
Siswa
perlu mengetahui harapan guru mengenai tujuan pembelajaran suatu materi. Sering
kali, kegagalan siswa untuk suatu tugas tertentu disebabkan oleh kebingungan
tentang apa yang diminta untuk mereka kerjakan Untuh itu, guru harus
menyampaikan informasi atau memberikan suatu tugas kepada siswa haruslah sejelas
mungkin. Hal ini menjadikan siswa secara penuh memberikan kinerja terbaiknya.
Karena siswa paham mengenai apa yang harus dilakukan, bagaimana mereka akan
dievaluasi, dan apa konsekuensi yang akan diterima jika mereka berhasil dan
bagaimana pentingnya pekerjaan itu bagi nilai siswa nantinya.. Kejelasan ini
akan memberikan kejaminan kepada siswa bahwa jerih payah yang dicurahkan untuk
menulis sebuah karangan yang baik ataupun menyelesaikan tugas yang baik akan
ada imbalannya-dalam hal ini, imbalan nilai. Apabila guru hanya mengatakan,
“Saya ingin kamu semua menulis karangan tentang apa yang ada di dalam benak
Thomas Jefferson tentang pemerintahan di Amerika Serikat sekarang ini”, siswa
dapat menulis hal yang salah, menulis terlalu panjang atau terlalu pendek, atau
boleh jadi lebih menekankan tulisannya seandainya Jefferson hidup hari ini
daripada aspek pembandingan pemerintahan. Mereka tidak akan yakin berapa banyak
guru menekankan pentingnya mekanisme karangan dibandingkan dengan isinya.
Terakhir, siswa tidak akan tahu bahwa bagaimana jerih payah mereka akan
dihargai, karena guru tidak memberikan indikasi tentang berapa besar bobot
karangan itu dalam menghitung nilai akhir.
Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Graham, MacArthur, dan Schwartz (1995) menunjukkan
pentingnya kespesifikan. Siswa kelas lima dan kelas enam yang rendah hasil
belajarnya diminta untuk merevisi karangan dengan perintah yang lebih umum atau
perintah yang lebih spesifik, yaitu “buat makalahmu menjadi yang lebih baik”
atau “paling sedikit tambahkan tiga hal yang akan menambah informasi pada
makalahmu”. Siswa-siswa yang mendapat perintah lebih spesifik kualitas
tulisannya lebih tinggi, revisinya lebih panjang karena mereka memiliki ide
yang lebih jelas tentang apa yang diminta untuk mereka kerjakan.
b. Pemberian
Balikan yang Jelas
Kata
umpan balik atau balikan berarti informasi atas hasil-hasil dari upaya
seseorang. Istilah balikan digunakan berkenaan dengan dua-duanya, yaitu
informasi yang diterima siswa tas kinerja mereka dan informasi yang diterima
guru atas akibat dari pengajaran mereka. Balikan dapat digunakan sebagai
insentif. Penelitian tentang balikan telah menemukan bahwa menyediakan
informasi atas hasil-hasil tindakan seseorang dapat merupakan ganjaran yang
memadai dalam sejumlah kasus. Tetapi bagaimanapun juga, agar menjadi motivator
yang efektif, balikan harus jelas dan spesifik dan harus diberikan berdekatan
waktunya dengan kinerja terkait (Kulik, 1988). Hal ini penting untuk semua
siswa dan khususnya untuk siswa muda usia. Sebagai misal, pujian untuk suatu
tugas yang dikerjakan dengan baik seharusnya menyebut secara spesifik apa yang
dikerjakan siswa dengan baik:
-
“Kerja bagus! Analisismu
mengenai penyebab ketidaksesuaian hasil praktikum dengan teori sangat
sistematis dan mampu dijelaskan secara logis.
-
“Kerja bagus! Saya
tertarik dengan caramu menggunakan kata-kata penuntun di dalam kamus itu
menemukan kata-kata pada lembar kegiatanmu”.
-
“Saya suka jawaban itu.
Jawabanmu itu menunjukkan bahwa kamu telah memikirkan tentang apa yang telah
saya katakan tentang kebebasan dan tanggung jawab”.
-
Ini sebuah karangan yang
amat bagus. Karangan ini dimulai dengan sebuah pernyataan tentang sanggahan
yang akan kamu buat dan kemudian menunjang sanggahan itu dengan informasi yang
relevan. Sayajuga suka dengan kecermatan atas tanda baca dan penggunaan kata”.
Balikan yang spesifik memiliki dua ciri,
yaitu ciri informatif dan ciri motivatif (Kulhavy dan Stock, 1989). Balikan ini
menyatakan kepada siswa, sehingga mereka akan mengetahui apa yang dilakukan di
masa yang akan datang dan membantu dalam memberi mereka suatu upaya berdasarkan
atribusi untuk berhasil (“Kamu berhasil karena kamu bekerja keras”).
Sebaliknya, apabila siswa dipuji atau menerima suatu nilai bagus tanpa penjelasan
apa pun, kecil kemungkinannya mereka belajar dari balikan itu apa yang
seharusnya diperbuat lain waktu agar berhasil dan dapat membentuk
suatu atribusi kemampuan (“Saya berhasil karena saya pintar”) atau
atribusi eksternal (“Saya telah berhasil karena guru saya menyukai saya,
tugasnya mudah, atau saya beruntung.”). Seperti telah disebutkan terdahulu,
atribusi upaya adalah paling kondusif untuk melanjutkan motivasi. Sama halnya,
balikan tentang kesalahan atau kegagalan dapat menambah motivasi apabila
balikan itu hanya memfokuskan pada kinerja itu sendiri (bukan pada kemampuan
umum siswa) dan jika balikan ini diselingi dengan balikan atas keberhasilan
(Clifford, 1984,1990).
c. Pemberian
Balikan Segera
Kesegeraan
juga sangat penting (Kulik,1988). Apabila siswa menyelesaikan suatu tugas pada
hari Senin dan belum menerima balikan apapun atas pekerjaan tugas itu sampai
hari Jum’at, nilai informatif dan normatif dari balikan itu akan berkurang.
Pertama, apabila mereka membuat kekeliruan atas materi tertentu, mereka dapat
terus membuat kekeliruan serupa sepanjang minggu itu yang kemungkinan dapat
dicegah dengan balikan pada kinerja itu. Kedua, suatu penundaan panjang antara
perilaku dan konsekuensi mengaburkan
hubungan antara keduanya. Khususnya, siswa-siswa muda usia, mungkin tidak
begitu memahami mengapa mereka menerima nilai tertentu apabila kinerja yang
digunakan sebai dasar penilaian terjadi beberapa hari yang lalu.
d. Pemberian
Balikan Sering Dilakukan
Balikan
seharusnya sering diberikan kepada siswa untuk mempertahankan upaya terbaik
mereka. Srbagai misal, adalah realistik untuk mengharapkan kebanyakan siswa
bekerja keras 6 sampai 9 minggu disertai pengharapan terjadi peningkatan nilai
mereka kecuali mereka menerima balikan sering. Penelitian dalam tradisi teori
belajar prilaku menyimpulkan bahwa tidak memandang bagaimanapun kuatnya suatu
ganjaran, ganjaran kecil tetapi sering diberikan merupakan insentif yang lebih
efektif daripada ganjaran besar yang tidak sering diberikan. Penelitian
terhadap frekuensi pengetesan umumnya telah menemukan bahwa merupakan ide yang
bagus untuk sering memberikan kuis singkat untuk menilai kemajuan siswa
daripada tes panjang yang jarang diberikan (Dempster, 1991). Penelitian juga
mengungkapkan pentingnya mengajukan banyak pertanyaan di kelas sehingga siswa
dapat memperoleh informasi tentang tingkat pemahaman mereka sendiri dan dapat
menerima penguatan (pujian, pengakuan) atas perhatian yang mereka curahkan
kepada pelajaran.
e. Peningkatan
Nilai dan Adanya Motivasi Instrinsik
Teori-teori
harapan tentang motivasi menyatakan bahwa motivasi ditentukan oleh hasil kali
antara nilai insentif suatu keberhasilan menurut persepsi individu dan peluang
untuk berhasil menurut taksiran individu (Atkinson dan Birch, 1978). Satu
implikasi (pengertian yang tidak disebutkan secara langsung) dari teori ini
adalah bahwa siswa harus menghargai insentif yang digunakan untuk memotivasi
mereka. Sejumlah siswa tidak tertarik dengan pujian atau nilai namun justru
menghargai informasi tertulis yang dikirimkan ke rumah untuk orang tua mereka,
sedikit waktu istirahat ekstra, atau hak-hak khusus di kelas.
Implikasi
lain dari teori harapan adalah bahwa seluruh siswa harus memiliki kesempatan
memperoleh ganjaran apabila mereka melakukan yang terbaik, namun seharusnya
jangan ada satu orang siswa pun memperoleh kemudahan mencapai ganjaran
maksismum. Prinsip ini dilanggar oleh praktek-praktek pemberian nilai
tradisional karena sejumlah siswa merasa mudah mendapat nilai A dan B sementara
yang lain yakin bahwa mereka memiliki peluang kecil mencapai sukses akademik
apa pun yang mereka lakukan. Dalam kondisi seperti ini, baik siswa yang
prestasi akademiknya tinggi maupun yang prestasi akademiknya rendah kemungkinan
sekali tidak mencurahkan upaya terbaik mereka. Hal ini merupakan satu alasan
pentingnya memberikan ganjaran kepada siswa bagi upaya yang mereka lakukan,
untuk melakukan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan di waktu
lampau, atau membuat kemajuan, daripada sekedar mendapatkan nilai tinggi.
Sebagai misal, siswa dapat mengumpulkan koleksi karya (portofolio) yang terdiri
dari karangan, proyek, laporan, atau karya lain dan kemudian dapat melihat
bagaimana karya mereka bertambah baik dari waktu ke waktu. Tidak semua siswa
mempunyai kemampuan yang sama untuk mencapai nilai tinggi, tetapi semua siswa
mempunyai kemampuan yang sama untuk mencurahkan upaya, melampaui rekor mereka
sendiri di waktu lampau, atau membuat kemajuan, sehingga hal-hal ini sering
lebih baik, merupakan kriteria untuk pemberian ganjaran yang lebih
tersedia.
II.
Bagaimana
Guru Dapat Memberikan Ganjaran Atas Kinerja, Upaya dan Perbaikan
Seperti
telah ditekankan berkali-kali dalam bab ini, sistem intensif yang diterapkan di
kelas seharusnya memfokuskan pada upaya siswa, bukan kemampuan. Sebagai misal,
seorang siswa yang pada ujian awal memperoleh nilai 4 dan pada ujian akhir
memperoleh nilai 6 seharusnya diberikan nilai yang lebih tinggi dari pada siswa
lain yang pada ujian awal memperoleh
nilai 7 namun pada ujian akhir memperoleh nilai 7 juga.
Namun
tentu contoh di atas menguntungkan bagi seorang siswa dan merugikan untuk siswa
yang lain. Maka dari itu, motivasi yang paling efektif ialah dengan langsung
memberi ganjaran pada hasil belajar atau perilaku siswa. Untuk lebih jelasnya,
akan dibahas pada bagian ini.
1. Penggunaan
Pujian Secara Efektif
Pujian dapat
didefinisikan secara sederhana sebagai suatu yang berfungsi sebagai insentif,
sesuatu yang penting bagi anak dan yang memperbesar kemungkinan terulangnya
perilaku yang diinginkan (Mallory M. Collins dan H. Fantenelle, 1992 : 24).
Tujuan utama pemberian pujian adalah agar siswa mau melakukan apa yang diminta
dan diharapkan. Pujian sering mengubah motivasi siswa, akan mengubah perilaku
siswa dalam menghadapi sesuatu yang semula dianggap tidak menarik menjadi
sesuatu yang ingin dilakukan (Mallory M. Collins dan H. Fentelle, 1992 : 24)
sedangkan, menurut George Brown, (1990 : 138), istilah teknis yang dipakai
untuk menyatakan setiap teknik mengurangi atau mengubah tingkah laku dengan
Reinforcement dapat bersifat positif (memberikan pujian) maupun negative (tidak
memberikan pujian, umpan balik korektif dan hukuman).
Pemberian
pujian dapat dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Proses belajar
mengajar dapat dikatakan sebagai aktivitas yang diharapkan dapat memberikan
pengalaman belajar pada diri siswa. Pemberian pujian ini diharapkan dapat
memacu keaktifan dan keberanian siswa mengeluarkan pendapat.
Pujian
hendaknya hanya diberikan kepada jawaban benar dan prilaku yang pantas di puji.
Secar khusus hal ini berarti bahwa guru memuji siswa untuk prilaku
sprsifik,bukan untuk “kebaikan” umum. Sebagai misal, seorang guru lebih baik
mengucapkan, “Santi, saya senang kamu mengikuti arahan yang saya berikan untuk
mulai menulis karanganmu”, dari pada mengucapkan “Santi, kamu hebat!”
Agar
pujian itu benar-benar dapat dipercaya, maka pujian itu hendaknya diberikan
untuk kerja yang benar-benar baik. Brophy (1981) mengemukakan bahwa pada saat
memuji siswa yang kurang pandai atau nakal untuk karja baik mereka, guru sering
kali mengecilkan arti pujian itu dengan nada,gaya,atau isyarat-isyarat non
verbal yang lain. Brophy (1981) mengidentifikasi ciri-ciri pujian yang efektif
sebagai berikut:
1. Pujian
yang diberikan mengacu pada kinerja yang jelas (kontingensi).
2. Menyertakan
fakta-fakta khusus (spesifisitas) dari pencapaian.
3. Menunjukkan
spontanitas,keragaman,dan tanda-tanda lain agar pujian dapat dipercaya
(kredibilitas);memberi kesan menaruh perhatian yang tulus kepada pencapaian
siswa.
4. Ganjaran
atas hasil karya ditetapkan berdasarkan kriteria kinerja (yang dapat meliputi kriteria
upaya).
5. Menyediakan
informasi bagi siswa tentang kompetensi mereka atau bobot nilai dari
pencapaian-pencapaian mereka.
6. Mengorientasikan
siswa ke arah apresiasi yang lebih baik atas prilaku mereka sendiri yang
relevan dengan tugas dan berfikir tentang pemecahan masalah.
7. Menggunakan
bekal pencapaian awal siswa sendiri sebagai dasar untuk mendiskripsikan
pencapaian sekarang.
8. Diberikan
sebagai pengakuan upaya atau keberhasilan atas tugas-tugas yang sulit yang
patut diperhatikan.
9. Mempertalikan
keberhasilan dengan upaya dan kemampuan,secara tidak langsung menyatakan bahwa
keberhasilan serupa dapat diharapkan di masa yang akan datang.
10. Memfokuskan
perhatian siswa pada prilaku mereka sendiri yang relevan dengan tugas.
Disamping kontingensi,spesifisitas,dan kredibilitas,
seperti yang dimaksudkan pada butir 1,2,dan 3 diatas, daftar brophy diatas
khusus memasukkan prinsip-prinsip penting yang memperkuat topik-topik yang
didiskusikan padaawal bab ini. Sebagai misal, Butir 7 dan 8 menekankan bahwa
pujian seharusnya diberikan untuk kinerja bagus relatif terhadap tingkat
kinerja yang biasa dapat dilakukan siswa itu. Artinya, siswa yang biasanya
dapat melakukan dengan baik hendaknya tidak diberikan pujian hanya untuk
kinerja rata-rata , namun siswa yang biasanya melakukan kurang baik hendaknya
dipuji pada saat mereka melakukan lebih baik. Ini berhubungan dengan prinsip
dapat mendapatkan (aksesibilitas) ganjaran yang dibahas terdahulu pada bab ini;
ganjaran hendaknya jangan terlalu mudah atau terlalu sulit bagi siswa untuk
mendapatkannya.
2. Penggunaan
nilai sebagai insentif
Sistem
penilaian yang digunakan kebanyakan sekolah melayani tiga fungsi yang berbeda
pada waktu yang sama: evaluasi, balikan, dan insentif. Fungsi campuran ini
membuat nilai menjadi kurang ideal bila hanya melayani tiap-tiap fungsi.
Sebagai missal, karena nilai sebagian besar didasarkan pada kemampuan daripada
upaya, maka nilai kurang ideal untuk mencurahkan upaya maksimum. Disamping itu,
nilai diberikan terlalu jarang sehingga kurang berguna baik sebagai balikan
maupun insentif, khususnya untuk siswa muda yang tidak dapat melihat hubungan
antara kerja sekarang ini dengan nilai yang diperoleh dalam 6 mingu masa
belajar. Meskipun demikian, nilai efektif menjadi insentif untuk siswa yang
lebih dewasa. Eksperimen membandingkan kelas-kelas perguruan tinggi yang
dinilai dan tidak dinilai (Gold, Reilly, Silberman, dan Leh, 1971) menemukan
kinerja yang signifikan (berarti) lebih tinggi pada kelas yang dinilai. Nilai
berfungsi sebagai insentif sebagian karena nilai itu memperbesar makna ganjaran
lain yang diberikan berdekatan waktunya dengan perilaku-perileku yang diperkuat
nilai itu. Sebagai missal, pada saat siswa memperoleh A untuk makalahnya, siswa
itu dapat menyikapi nilai ini sebagian karena nilai A itu merupakan suatu
indikasi bahwa nilainya dalam mata kuliah itu juga bagus. Masalah aksesibilitas
(terbukanya jalan untuk mencapai) nilai- kenyataannya bahwa nilai bagus terlalu
muda bagi sejumlah siswa tetapi terlalu sulit untuk siswa lain – dapat
dikurangi sebagian dengan menggunakan system penilaian yang memiliki banyak
tingkat. Sebagai missal siswa yang kurang pandai merasa memperoleh ganjaran
apabila siswa ini lulus biasa atau apabila ia mendapat nilai C, sementara temen
sekelasnya yang pandai dapat tidak puas kecuali mendapat nilai A. disamping itu
satu alasan utama mengapa siswa menghargai nilaidalah karena orang tua mereka
menghargai nilai, dan khususnya orang tua memuji anakanya untuk peningkatan
nilai yang berhasil dicapai, meskipun nilai bagus tidak sama mudahnya dicapai
oleh seluruh siswa, peningkatan nilai sudah barang tentu ya, kecuali oleh siswa
yang terus menerus mendapat nilai A.
3. Harapan-harapan
Belajar Individual
Cara lain dari pemberian insentif untuk
belajar adalah dengan menghargai peningkatan yang berhasil dicapai siswa
melampaui rekornya sendiri yang lalu. Keuntungan dari skor peningkatan atau
skor perkembangan adalah bahwa skor ini dapat diangkakan dan tidak terlalu
bergantung pada pertimbangan subyektif guru seperti halnya skor upaya. Seluruh
siswa kecuali siswa dengan kinerja tertinggi mampu memperoleh peningkatan, dan
siswa dengan kinerja tinggi dapat diganjar untuk pekerjaan yang sempurna, yang
seharusnya berada dalam jangkauan mereka.
Slavin (1980; Beady, Slavin, &
Fennessey, 1981) mengembangkan dan mengevaluasi suatu mode pengganjaran siswa
untuk peningkatan prestasi yang disebut Harapan Belajar Individual atau Individual Learning Expectations (ILE).
Ide dibalik ILE adalah menghargai siswa yang bekerja lebih baik daripada yang
mereka lakukan di waktu lampau, agar tetap meningkatkan kinerjanya sampai
mereka dapat menunjukkan prestasi sempurna sepanjang waktu. Dengan cara ini,
seluruh siswa memiliki kesempatan untuk mendapatkan penghargaan untuk kerja
akademik hanya dengan melakukan yang terbaik. Penelitian menemukan bahwa
penggunaan ILE meningkat secara signifikan hasil belajar siswa dibandingkan
dengan kelas-kelas yang menggunakan sistem penilaian tradisional.
4.
Penerapan
Teori di dalam Praktek : Perhitungan Skor Dasar ILE dan Poin Peningkatan
Dalam
penerapan ILE, siswa seharusnya paling sedikit mendapat satu kuis pendek tiap
minggu untuk tiap mata pelajaran. Kuis ini cukup terdiri dari 10 butir soal.
Kuis-kuis ini sebaiknya diskor di kelas segera setelah dikerjakan siswa dengan cara
siswa diminta saling menukarkan lembar jawaban dan kemudian guru membacakan
jawabannya. Ijinkan siswa melihat pekerjaan mereka sendiri, membahas setiap
butir yang banyak di jawab salah, dan kemudian mengumpulkan pekerjaan itu.
a.
Skor
Dasar Awal
Skor
dasar mewakili skor rata-rata siswa pada kuis-kuis yang lalu. Apabila anda
memulai ILE pada awal tahun ajaran, tetapkan skor dasar awal sesuai dengan
nilai siswa tahun sebelumnya pada mata pelajaran yang sama.
Perhitungan
Skor Dasar Awal
Nilai
Tahun Lalu
|
Skor
Dasar Awal
|
A
|
90
|
A- atau
B+
|
85
|
B
|
80
|
B- atau
C+
|
75
|
C
|
70
|
C- atau
D
|
65
|
F
|
60
|
Dalam
hal nilai tahun lalu dinyatakan dalam skor angka biasa, seperti yang berlaku
pada kebanyakan sekolah, maka skor angka tahun lalu itu dapat langsung diambil
sebagai skor dasar awal. Apabila anda mulai menggunakan ILE setelah anda
memberikan beberapa kuis di kelas anda, gunakan nilai rata-rata kuis itu
sebagai skor awal dasar .
b. Poin
Peningkatan
Setiap
saat anda memberikan kuis, bandingkan skor kuis siswa dengan skor dasar mereka,
dan diberikan siswa poin peningkatan seperti berikut ini.
Hendaknya
dicatat bahwa poin peningkatan diberikan dalam hubungannya dengan kinerja yang
lalu. Seorang siswa yang memperoleh nilai rata-rata 75 untuk kuis-kuis yang
lalu dan mendapat skor 80 akan
memperoleh yang sama (2) seperti seorang siswa yang nilai rata-ratanya 90 dan
kemudian memperoleh nilai 95 pada minggu ini. Sementara itu, tidak ada ruginya
bagi siswa yang memiliki skor dasar terlampau tinggi, karena seluruh siswa akan
mendapat skor maksimum (poin peninggkatan 3) apabila ia mendapat skor sempurna,
tidak melihat berapa pun skor dasarnya.
Penghitungan
Poin Peningkatan
Skor
Kuis
|
Poin
Peningkatan
|
Komentar
|
5
Poin atau lebih di bawah skor dasar
|
0
|
“kamu
dapat berusaha lebih baik lagi!”
|
4
poin dibawah sampai 4 poin di atas skor dasar
|
1
|
“sekitar
prestasi rata-rata untukmu dan sebenarnya kamu dapat mencapai lebih baik
lagi”
|
5-9
poin di atas skor dasar
|
2
|
“lebih
bagus dari nilai rata-ratamu-kerja yang bagus”
|
10
poin atau lebih di atas skor dasar atau skor sempurna(tidak melihat berapapun
skor dasarnya)
|
3
|
“hebat
jauh lebih tinggi dari nilai rata-rata”
|
c. Balikan
Kepada Siswa
Poin
peningkatan hendaknya dicantumkan pada kuis-kuis siswa dan mengembalikan pekerjaan
itu sesegera mungkin. Di samping itu, setiap dua minggu, skor-skor peningkatan
siswa untuk seluruh kuis yang diberikan dalam periode itu hendaknya
dirata-rata. Kemudian sertifikat yang menarik atau ganjaran kecil lain
hendaknya diberikan kepada yang nilai rata-ratanya paling sedikit 2 poin
peningkatan. Pada saat pertama kali anda melakukan cara ini, kirimkan juga
edaran ke orang tua yang menjelaskan untuk apa sertifikat itu. Orang tua
merupakan kunci keberhasilan ILE. Apabila orang tua menanggapi positif laporan
peningkatan anak-anak mereka dan guru mengutamakan kemajuan dan peningkatan,
maka siswa juga akan memberikan tanggapan positif.
d.
Penghitungan
Kembali Skor Dasar
Pada akhir setiap periode penilaian, hitunglah
rata-rata skor pada tiap kuis termasuk skor rata-rata yang lalu, dan hitung
skor dasar baru (bulatkan harga pecahan yang diperoleh saat menghitung
rata-rata). Sebagai misal, andaikan nilai rata-rata Shinta yang lalu adalah 84
dan skor kuisnya adalah 90, 95, dan 90. Skor dasar baru Shinta dihitung seperti
berikut.
84 Skor dasar
lama
+90 Skor kuis
1 (2 poin peningkatan)
+95 Skor kuis
2 (3 poin peningkatan)
+90 Skor kuis
3 (2 poin peningkatan)
Karena skor kuis Shinta seluruhnya
diatas skor dasarnya (84), maka skor dasarnya yang baru naik menjadi 90. Pada
waktu-waktu yang akan datang, akan agak lebih berat bagi shinta untuk
memperoleh poin peningkatan.
e.
Poin
Peningkatan dan Nilai
Pada saat anda memberikan nilai, juga umumkan poin
peningkatan rata-rata untuk periode penilaian itu. Pada umunmnya, poin
peningkatan tinggi seharusnya mencerminkan nilai lebih tinggi. Sebagai misal,
seseorang siswa yang rata-rata poin peningkatannya 2 atau lebih, nilai akhirnya
dapat naik dari C ke B atau dari B ke A. lagi-lagi komunikasikan kepada siswa
(dan orang tua mereka) bahwa upaya dan peningkatan adalah penting dan
komunikasi ini merupakan hal penting dalam rangka mewujudkan system poin
peningkatan yang efektif.
5. Sistem
Insentif Yang Didasarkan Pada Struktur Tujuan
Salah
satu aspek system insentif kelas yang telah mendapatkan perhatian penelitian
yang besar akhir-akhir ini adalah struktur tujuan (goal structure) kelas.
Istilah ini mengacu pada seberapa jauh siswa berada dalam semangat saling
kerjasama atau kompetisi. Apabila siswa berada pada iklim kompetisi, setiap
keberhasilan siswa berarti kegagalan bagi siswa lain. Sebagai missal, apabila
guru menerapkan suatu kebijaksanaan bahwa hanya seperempat kelas yang
memperoleh A, ini berarti siswa lain tidak dapat memperoleh A. iklim sebaliknya
terjadi pada kerjasama. Apabila suatu kelompok yang terdiri dari 4 orang siswa,
sedang mengerjakan tugas laboratorium bersama-sama, mereka akan berhasil atau
gagal bersama-sama. Apabila ada seorang siswa yang bekerja keras, hal ini akan
meningkatkan peluang siswa lain untuk berhasil. Struktur tujuan ketiga adalah
individualisasi, di mana keberhasilan atau kegagalan seorang individu tidak
memiliki konsekwensi terhadap individu lain. Sebagai misal, apabila guru
mengatakan, “Saya akan nilai A kepada
seluruh siswa yang mencapai nilai rata-rata 90 untuk seluruh kuis yang
diberikan dalam masa pelajaran ini,”
maka siswa di dalam kelas itu berada dalam struktur tujuan individual, karena
keberhasilan siapa pun tidak akan memiliki konsekwensi bagi keberhasilan teman
sekelasnya (Johnson Johnson, 1987).
Struktur
tujuan kompetitif telah dikritik karena tidak mendorong siswa saling membantu
dalam belajar (Johnson, 1987), cendrung menumbuhkan keinginan siswa untuk saling
menjatuhkan di kelas (Ames, 1986), dan menciptakan peluang yang kecil untuk
keberhasilan siswa (Salvin, 1995). Coleman (1961) mencatat bahwa seorang
individu yang berhasil dalam olahraga memperoleh dukungan dari siswa lain
karena pahlawan olahraga mendatangkan kebanggaan bagi tim dan sekolah, namun
siswa sering tidak suka dengan siswa lain yang mendapatkan hasil belajar tinggi
karena sistem akademik kompetitif, hasil belajar hanya mendatangkan
keberhasilan bagi individu itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prestasi belajar siswa berkaitan erat dengan motivasi
belajar siswa. Guru sebagai tenaga pendidik memiliki tanggung jawab dalam
memotivasi siswa dalam belajar. Ada banyak teknik yang dapat dilakukan seorang
guru untuk meningkatkan memotivasi seorang siswa dalam proses belajar mengajar.
Dari sekian banyak teknik ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yakni terkait
motivasi intrinsik dan ekstrinsik, di mana seorang guru harus tahu bagaimana
seorang guru bisa meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik tersebut. Demi
meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik tersebut, guru harus mengerti
bagaimana sebaiknya seorang guru memberikan ganjaran atas kinerja, upaya dan
perbaikan siswa.
B. Saran
Semoga apa yang telah di
sampaikan dapat dikaji dan dimanfaatkan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Nur, Mohamad. 2001. Pemotivasian Siswa Untuk Belajar. Surabaya : Universitas Negeri
Surabaya.
Anonim. 2011. Pemotivasian
Siswa Untuk Belajar. http://www.slideshare.net/fajarww/pemotivasian-siswa-untuk-belajar.
Diakses pada tanggal 15 September 2014 Pukul 20.09.
Anonim.
2008. Pengaruh Motivasi Terhadap
Peningkatan Kinerja. http://teknologikinerja.wordpress.com/2008/05/06/pengaruh-motivasi-terhadap-peningkatan-kinerja/.
Diakses pada tanggal 15 September pukul 21.00a