BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan
zaman maka tuntutan kehidupan semakin besar, dimana salah satu yang perlu
ditingkatkan dalam menghadapi perkembangan zaman yaitu bidang pendidikan. Kita
ketahui bersama bahwa pendidikan di Negara kita khususnya, selalu berkembang
dari masa kemasa seperti sekarang terjadi perkembangan kurikulum yang
sebelumnya Kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013. Hal ini mencerminkan bahwa
pendidikan di Negara kita terus berkembang dari masa kemasa. Namun keanehan
terjadi bagi pendidikan di indonesa memang selalu terjadi perkembangan
pendidikan namun tidak menunjukan kualitas peningkatan mutu pendidikan di
negara kita ini. Menurut survey yang dilakukan ternyata negara Indonesia
menempati rengking terbawah di dunia dalam mutu pendidikan. Seharusnya dengan
berkembangnya tatanan dan sistem
pendidikan di Indonesia akan mampu
meningkatkan mutu pendidikan.
Pada
akhirnya kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan pendidikan di
Indonesia apakah sistemnya yang salah atau pelaku pendidikan yang salah, tentunya
kita tidak bisa menjawab hal ini sebelum kita melihat apa yang sebenarnya
terjadi di lapangan. Ternyata banyak sekali yang mempengaruhi mutu pendidikan
itu dapat dipengaruhi oleh kualitas tenaga pengajar dan peserta didik dimana
peserta didik itu sendiri dipengaruhi oleh pengaruh intrinsik dan ekstrinsik
salah satu hal yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan adalah motivasi peserta
didik dalam belajar. Kenapa motivasi dikatakan sebagai hal yang paling
berpengaruh karena tanpa motivasi yang kuat maka dalam menjalankan proses
belajar mengajar tidak akan pernah maksimal. Oleh karena itu selaku calon guru
harus mampu memahami bagaimana cara membangkitkan motivasi untuk peserta didik.
Sesuai
dengan hal ini, maka sebagai seorang guru yang bertugas menjadi fasilitas dan
juga dituntut mampu menumbuhkan motivasi dalam diri masing-masing peserta
didiknya, harus mampu meningkatkan kualitas penegtahuan yang kita miliki untuk mewujudkan
proses belajar yang yang aktif, kreatif dan menyenangkan dan tentunya mampu
menumbuhkan motivasi dari peserta didik. Hal ini harus dimiliki oleh setiap
guru agar tujuan dari pendidikan bisa terwujud. Hal ini merupakan tantangan
bagi seorang pendidik dalam menjalankan baktinya selaku pendidik untuk anak
bangsa sesuai dengan UUD 1945 yang berbunyi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Motivasi
bagi seorang pelajar sangatlah penting, karena tanpa motivasi dalam menuntut
ilmu akan mempengaruhi hasil yang didapat tentunya kurang maksimal karena
kurang semangat dalam menjalankan proses belajar. Oleh karena itu kita selaku
calon pendidik harus bisa memahami pengertian motivasi itu sendiri dan kita
harus bisa memahami bagaimana teknik kita dalam membangkitkan motivasi itu
sendiri.
Dari
landasan diatas maka makalah yang kami susun akan membahas tentang motivasi dengan
judul “Pemotivasian siswa untuk Belajar”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka kami dapat merumuskan beberapa
perumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang
dimaksud dengan motivasi ?
2. Seperti apa teori-teori motivasi menurut para akhli teori
motivasi ?
3. Bagaimana
strategi-strategi meningkatkan motivasi
berprestasi peserta didik ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka makalah ini bertujuan untuk:
1. Mendefinisikan motivasi dan mendiskusikan pentingnya
motivasi dalam pengajaran dan pembelajaran.
2. Mendefinisikan motivasi berprestasi, menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi motivasi belajar.
3. Dapat membedakan motivasi intrinsic dan ekstrinsik.
4. Memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai motivasi.
5. Memberikan gambaran teknik dalam meningkatkan motipasi
belajar untuk peserta didik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Motivasi
Motivasi
merupakan satu unsur paling penting dari
pengajaran efektif atau pengajaran yang berhasil. Siswa yang memiliki keinginan
belajar dapat saja belajar tentang segala sesuatu. Namun demikian bagaimana
guru menjamin bahwa tiap siswa
berkeinginan belajar dan akan melakukan upaya yang diperlukan untuk
mempelajari bahan pelajaran yang sulit ?
Motivasi
adalah suatu komponen paling penting dari pembelajaran dan satu komponen yang
paling sukar di ukur. Motivasi tidak hanya penting untuk menjadikan siswa
terlibatdalam kegiatan akademik. Motivasi juga penting dalam mennetukan
seberapa banyak siswa akan belajar dari suatu kegiatan pembelajaran atau
seberapa banyak mennyerap informasi yang disajikan kepada mereka. Siswa yang
termotivasi untuk belajar sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang llebih
tinggi dalam mempelajarimatri itu, sehingga siswa itu akan menyerap dan mendapatkaqn
materi itu dengan lebih baik (Nur,2003;Garder,
Alexander,Gilingham, Kulikowich, dan Brown, 1991).
Dengan
ini maka pengertian motivasi itu sendiri adalah proses internal yang
mengaktifkan, memandu, dan mempertahankan prilaku dari waktu ke waktu. Indiividu
termotivasi karena berbagai alas an yang berbeda, dengan intensitas yang
berbeda, dan dengan arah yang berbeda. Menurut salah satu ahli psikologi
mengartikan motivasi sebagai suatu proses internal (dari dalam diri seseorang) yang mengaktifkan, membimbing,
dan mempertahankan pprilaku dalam rentang waktu tertentu
(Nur,2003;Baron,1992;Schunk,1990). Sebagai misal, seorang siswa dapat tinggi
motivasinya untuk belajar menghadapi tes ilmu sosial dengan tujuan mendapatkan nilai
tinggi (motivasi ekstrinsik) dan tinggi motivasinya untuk menghadapi tes
matematika karena ia tertarik dengan pelajaran itu (motivasi intrinsik), dan selanjutnya akan dibahas teori-teori motivasi
pada bagian selanjutnya.
2.2 Teori
– teori Motivasi
2.2.1 Motivasi dan Teori Pembelajaran Perilaku
Konsep motivasi
berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan
(reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan
dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena
hukuman. Dalam kenyataannya, dari pada membahas konsep motivasi, penganut teori
perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk
mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan.
Mengapa sejumlah siswa
tetap bertahan dalam menghadapi kegagalan sedang yang lain menyerah? Mengapa
ada sejumlah siswa bekerja untuk menyenangkan guru, yang lain berupaya
mendapatkan nilai yang baik, dan sementara itu ada yang tidak berminat terhadap
bahan yang mereka pelajari? Mengapa ada sejumlah siswa mencapai hasil belajar
jauh lebih baik daripada yang diperkirakan berdasarkan kemampuan mereka dan
sementara itu ada sejumlah siswa mencapai hasil belajar jauh lebih jelek?
Mengkaji penguatan yang telah diterima dan kapan penguatan itu diperoleh dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, namun pada umumnya yang akan lebih
mudah meninjaunya dari sudut motivasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Penghargaan
dan Penguatan. Satu alas an mengapa penguatan yang
pernah diterima merupakan penjelasan yang tidak memadai untuk motivasi karena
motivasi manusia itu sangat kompleks dan tidak bebas dari konteks (situasi yang
berhubungan). Terhadap binatang yang sangat lapar kita dapat meramalkan bahwa
makanan akan merupakan penguat yang efektif. Terhadap manusia, meskipun ia
lapar, kita tidak dapat sepenuhnya yakin apa yang akan merupakan penguat dan
apa yang bukan penguat karena nilai penguatan dari penguat yang paling
potensial sebagian besar ditentukan oleh factor-faktor pribadi dan situasional.
Penentuan
Nilai dari suatu Intensif. Ilustrasi berikut ini merupakan
poin penting: Nilai motivasi dari suatu insentif tidak dapat diasumsikan,
karena nilai itu dapat bergantung kepada banyak faktor. Pada saat guru
mengatakan, “Saya ingin kamu semuamengumpulkan laporan buku pada waktunya
karena laporan itu akan diperhitungkan dalam menentukan nilaimu,” guru itu
mungkin mengasumsikan bahwa nilai merupakan insentif yang efektif untuk siswa
pada umumnya. Tetapi bagaimanapun juga, sejumlah siswa dapat tidak menghiraukan
nilai karena orang tua mereka tidak menghiraukannya atau mereka memiliki
catatan kegagalan di sekolah dan telah mengambil sikap bahwa nilai itu tidak
penting. Apabila guru mengatakan kepada seorang siswa, “Pekerjaan yang bagus!
Saya tahu kamu dapat mengerjakan tugas itu apabila kamu mencobanya!” ucapan ini
dapat memotivasi seorang siswa yang baru saja menyelesaikan suatu tugas yang ia
anggap sulit namun dapat berarti hukuman bagi siswa yang berfikir bahwa tugas
itu mudah (karena pujian itu memiliki implikasi bahwa ia khusus telah bekerja
keras untuk menyelesaikan tugas itu). Seringkali sukar menentukan motivasi
siswa dari perilaku mereka karena banyak motivasi yang berbeda dapat
mempengaruhi perilaku. Kadang-kadang, satu jenis motivasi jelas-jelas
menentukan perilaku; pada saat yang lain, ada beberapa motivasi yang
berpengaruh.
2.2.2
Motivasi dan Kebutuhan Manusia
Sementara
para ahli teori pembelajaran perilaku (misalnya, Bandura, 1986; Skinner, 1953)
berbicara perihal motivasi untuk mendapatkan penguatan dan menghindari hukuman,
para ahli teori motivasi yang lain (misalnya Maslow, 1954) lebih menyukai
konsep motivasi untuk memenuhi kebutuhan yang terdapat dalam buku pemotivasian belajar siswa
(Nur,2003). Beberapa kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh
kita semua adalah makanan, rasa aman, cinta, dan pemeliharaan harga-diri
positif. Manusia berbeda dalam tingkat pentingnya mereka menaruh perhatian pada
tiap-tiap kebutuhan itu. Sebagian orang terus-menerus membutuhkan kepastian
bahwa dirinya dicintai atau dihargai; ssementara itu yang lain memiliki
kebutuhan lebih besar untuk kenyamanan fisik dan rasa aman. Di samping itu,
orang yang sama memiliki kebutuhan berbeda pada waktu yang berbeda; segelas air
akan jauh lebih disukai pada saat ditawarkan setelah lari 5000 m daripada
ditawarkan setelah makan makanan ringan.
Hierarkhi Kebbutuhan Maslow.
Karena manusia memiliki banyak kebutuhan, pada waktu tertentu kebutuhan manakah
yang mereka coba untuk dipenuhi? Untuk meramalkan kebutuhan yang akan dipenuhi
ini, Maslow (1954) mengemukakan hierarkhi atau tingkatan kebutuhan: kebutuhan
dasar dan kebutuhan tumbuh. Menurut teori Maslow, kebutuhan yang berbeda pada
hierarkhi lebih bahwa paling tidak harus dipenuhi sebagian sebelum seseorang
akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tinggkatnya. Sebagai
missal, orang yang lapar atau seseorang yang secara fisik dalam bahaya akan
tidak begitu menghiraukan untuk mempertahankan konsep-diri positif (gambaran
terhadap diri sendiri sebagai orang baik) dibandingkan untuk mendapatkan
makanan atau keamanan; namun begitu orang itu tidak lagi lapar atau dicekam
rasa takut, kebutuhan akan harga diri akan menjadi penting. Satu konsep penting
yang diperkenalkan oleh Maslow adalah perbedaan antara kebutuhan dasar dan
kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar
(fisiologis, rasa aman, cinta, dan penghargaan) adalah kebutuhan yang penting
untuk kesehatan fisik dan psikologis; kebutuhan ini harus dipenuhi, dan sekali
kebutuhan ini dipenuhi, motivasi seseorang untuk memenuhi kebutuhan ini surut.
Sebaliknya, kebutuhan tumbuh,
sebagai missal kebutuhan untuk mengetahui dan memahami sesuatu, menghargai
keindahan, atau menumbuhkan dan mengembangkan apresiasi (penghargaan) dari
orang lain, tidak pernah dapat dipenuhi sepenuhnya. Dalam kenyataannya, semakin
orang dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk mengetahui dan memahami dunia di
sekeliling mereka, motivasi mereka untuk belajar lebih banyak dapat menjadi
semakin besar.
Aktualisasi-Diri.
Teori Maslow termasuk konsep aktualisasi-diri,
yang ia definisikan sebagai keinginan untuk mewujudkan kemampuan diri atau
“keinginan untuk menjadi apa pun yang seseorang mapu untuk mencapainya”.
Aktualisasi diri ditandai dengan penerimaan diri dan orang lain, spontanitas,
keterbukaan, hubungan dengan orang lain yang relative dekat dan demokratis,
kreativitas, humor, dan mandiri. Pada dasarnya, memiliki kesehatan mental yang
bbagus atau sehat secara psikologis. Maslow menempatkan perjuangan untuk
aktualisasi diri pada puncak hierarkhi kebutuhannya, hal ini berarti bahwa
pencapaian dari kebutuhan paling penting ini bergantung pada pemenuhan seluruh
kebutuhan lainnya. Kesukaran untuk memenuhi kebutuhan ini diakui oleh Maslow
(1968), yang memperkirakan bahwa lebih sedikit dari satu persen orang dewasa
mencapai aktualisasi diri.
Implikasi
Teori Maslow dalam Pendidikan. Pentingnya teori Maslow dalam pendidikan
terletak dalam hubungan antara kebutuhan dasar dan kebutuhan tumbuh. Jelas
bahwa siswa yang sangat lapar atau yang dicekam bahaya akan memiliki energy
psikologis kecil yang dikerahkan untuk belajar. Sekolah dan lembaga
pemerintahan menyadari bahwa apabila kebutuhan dasar siswa tidak dipenuhi,
belajar akan terganggu. Dalam kondisi sperti ini sekolah atau pemerintah dapat
mengatasinya dengan menyediakan program makan pagi dan makan siang gratis. Di
sekolah kebutuhan dasar paling penting kemungkinan adalah kebutuhan akan kasih
saying dan harga diri. Siswa yang tidak memiliki perasaan bahwa mereka dicintai
dan mereka mampu, kecil kemungkinannya memiliki motivasi kuat untuk mencapai
tujuan perkembangan yang tingkatnya lebih tinggi, sebagai missal mencari
pengetahuan dan pemahaman atas upaya mereka sendiri atau kreativitas dan
keterbukaan untuk ide-ide baru yang merupakan karakteristik orang-orang yang mencapai
aktualisasi-diri. Siswa yang tidak yakin bahwa mereka dapat dicintai atau tidak
yakin dengan kemampuannya sendiri akan cenderung untuk membuat pilihan yang
aman: Bergabung dengan kelompoknya, belajar untuk tes tanpa ada minat untuk
mempelajari ide-idenya, menulis karangan yang tidak kreatif, dan sebagainya.
Guru yang berhasil membuat siswa merasa senang dan membuat mereka merasa
diterima dan dihormati sebagai individu, lebih besar peluangnya untuk membantu
mereka menjadi bersemangat untuk belajar demi pembelajaran dan kesediaan
berkorban untuk menjadi kreatif dan terbuka untuk ide-ide baru. Apabila siswa
dikehendaki menjadi pelajar yang mandiri, mereka harus yakin bahwa guru akan
merespon secara adil dan konsisten kepada mereka dan bahwa mereka tidak akan
ditertawakan atau dihukum karena murni berbuat kekeliruan.
2.2.3
Motivasi dan Teori Disonan Kognitif
Kebutuhan untuk
mempertahankan gambaran-diri positif merupakan suatu motivator yang kuat (Nur,2003;Covington, 1984). Banyak
dari perilaku kita yang diarahkan menuju pemenuhan standar pribadi kita
sendiri. Sebagai misal, apabila kita yakin bahwa kita adalah orang yang baik
dan jujur, kita cenderung untuk berbuat baik dan jujur meskipun apabila tidak
ada orang yang memperhatikan, karena kita ingin mempertahankan gambaran-diri
positif. Apabila kita yakin bahwa kita mampu dan cerdas, kita akan mencoba
untuk memuaskan diri kita sendiri bahwa kita telah berperilaku mampu dan cerdas
dalam situasi pencapaian hasil kerja.
Tetapi bagaimanapun juga,
kenyataaan hidup kadang-kadang memaksa kita berada didalam situasi dimana
peilaku atau keyakinan kita bertentangan dengan gambaran-diri positif kita atau
konflik dengan perilaku atau keyakinan orang lain. Sebagai misal, seorang siswa
yang ketahuan menyontek dalam suatu tes dapat membenarkan perilakunya dengan
menyatakan (dan malah yakin) bahwa “setiap siswa lain melakukan” atau “guru
memnberikan tes yang tidak adil, sehingga saya merasa tidak berssalah kalau
menyontek” atau menyangkal bahwa ia menyontek (dan benar-benar meyakini kebohongannya),
meskipun banyak sekaali bukti yang menyatakan sebaliknya.
Suatu teori psikologi
yang menjelaskan tentang perilaku, penjelasan, dan alasan yang digunakan untuk
mempertahankan gambaran-diri positif disebut teori disonan kognitif atau cognitive dissonance theory (Nur,2003;Festinger, 1957). Teori
ini mengatakan bahwa orang akan mengalami ketegangan atau ketidaknyamanan
apabila nilai atau keyaskinan yang dipegang secara kuat tidak cocok dengan atau
tertantang oleh keyakinan atau perilaku yang tidak konsisten secara psikologis.
Untuk mengatasi ketidaknyamanan ini, mereka dapat mengubah perilsaku atau
keyakinan mereka, atau mereka dapat mengembangkan pembenaran atau alasan yang
mengatasi ketidakkonsistenan ini.
Implikasi Teori Disonan
Kognitif dalam Pendidikan. Di dalam tataanan pendidikan, teori disonan kognitif
sering berlaku pada saat siswa menerima unpam-balik yang tidak menyenangkan
atas kinerja akademik mereka. Sebagai misal, Tina biasanya mendapat nilai
bagus, tetapi kali ini menerima D pada kuis tertentu. Nilai ini tidak konsisten
dengan gambaran-dirinya sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Untuk mengatasi
ketidaknyamanan ini, Tina dapat memutuskan untuk belajar lebih giat untuk
meyakinkan bahwa lain kali ia tidak akan mendapatkan nilai yang begitu rendah.
Di pihak lain, ia dapat mencoba membenarkan nilai rendah itu dengan berbagai
alasan: “Pertanyaan-pertanyaannya
mengandung jebakan. Saya tidak merasa sehat. Saya tidak sungguh-sungguh
mengerjakannya. Udaranya terlalu panas.” Alasan-alasan ini akan membantu Tina
mempertanggungjawabkan satu nilai D, namun misalkan ia mendapatkan sederet
nilai jelek. Sekarang ia mungkin berkilah bahwa ia tidak pernah mengerjakan
kuis mata pelajaran ini sejelek ini atau guru itu pilih kasih pada anak
laki-laki di kelas atau ia guru yang pelit dalam memberikan nilai. Semua
perubahan dalam pendapat dan alasan ini diarahkan untuk menghindari suatu
pasangan situasi tidak konsisten dan tidak enak, yaitu: “Saya adalah siswa yang
baik” dan “Saya berbuat jelek di kelas ini, dan ini merupakan kesalahan saya
sendiri.”
2.2.4
Motivasi dan Teori Kepribadian
Kata
motivasi digunakan untuk memberikan suatu
dorongan, kebutuhan, atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Orang dapat
termotivasi untuk makan apabila sedang lapar, pergi nonton film hari ini,
mendapatkan niali bahasa inggris lebih baik tahun ini, atau memperbaiki lingkungan
di sekitar mereka. Dengan kata lain kata motivasi dapat dikenakan pada perilaku
dalam suatu ragam atau rentang situasi yang luas.
Seseorang
menggunakan konsep motivasi untuk mendeskripsikan suatu kecendurungan umum yang
mendorong ke arah pencapaian jenis tujuan tertentu. Dalam pengertian ini,
motivasi sering dipandang sebagai karakteristik kepribadian yang relatif
stabil. Sejumlah orang termotivasi untuk berprestasi, sebagian yang lain
termotivasi bergaul dengan orang lain dan mereka menyatakan motivasi ini dalam
berbagai cara yang berbeda. Motivasi sebagai suatu karakteristik yang stabil
merupakan konsep yang agak berbeda dari motivasi untuk melakukan sesuatu yang
spesifik dalam suatu situasi tertentu. Sebagai misal, seseorang dapat
dimotivasi untuk makan apabila telah cukup lapar (motivasi situasional), namun
sejumlah orang umumnya lebih tertarik pada makanan daripada yang lain (motivasi
sebagai suatu karakteristik pribadi). Hal ini tidak bermaksud untuk mengatakan
bahwa motivasi situasional dan pribadi tidak berhubungan; motivasi sebagai
suatu karakterisstik pribadi sebagian besar merupakan hasil dan sejarah
seseorang.
Sebagai
misal, apabila anak-anak dipuji oleh orang tua dan guru mereka karena menunjukkan minat terhadap lingkungan di
sekitar mereka, berhasil di sekolah, membaca cukup baik dan menikmati membaca,
dan menemukan isi buku yang menarik dan berguna, mereka akan mengembangkan
suatu cinta belajar sebagai suatu ciri kepribadian umum dan akan membaca serta
belajar meskipun tidak ada seorang pun mendorong mereka melakukan hal itu.
Bagaimanapun juga, ciri kepribadian ini merupakan hasil sejarah panjang dari
motivasi situasional untuk belajar (Nur,2003;McCombs, 1991). Hal ini mengandung arti
bahwa apabila, karena terjadi suatu sejarah yang sangat berbeda dari sejarah
yang baru saja diperikan itu, ada
seorang anak gagal untuk mengembangkan suatu perasaan cinta belajar sebagai
suatu karakteristik pribadi, maka cinta belajar itu masih dapat ditanamkan pada
diri anak itu dan kemudian menjadi bagian dari kepribadian anak itu. Sebagai
misal, banyak anak yang berasal dari keluarga dimana belajar tidak dihargai
tinggi dan dimanan orang-orang dewasa sedikit membaca, tidak mengembangkan rasa
cinta belajar sebesar rasa cinta belajar anak-anak yang berasal dari keluarga
yang lebih berorientasi pada prestasi dan membaca. Meskipun demikian pengalaman
sekolah positif dan dorongan guru untuk belajar, rasa ingin tahu, dan membaca,
pada waktunya dapat mengatasi kekurangan dorongan atau model di rumah dan
mengembangkan cinta belajar hampir seperti setiap anak yang lain. Oleh karena
itu apabila kita berbicara tentang motivasi sebagai suatu karakteristik
pribadi, penting untuk diingat bahwa motivasi itu cenderung tetap untuk
berbagai macam tatanan (aturan) dan sulit diubah dalam waktu singkat.
2.2.5
Motivasi dan Teori Atribusi
Teori Atribusi
Mengenai teori atribusi, Weiner menyatakan
bahwa sebagian besar penjelasan untuk berhasil dan gagal memiliki tiga
karakteristik. Pertama adalah apakah penyebab itu dipandang sebagai internal
(berada di dalam diri orang itu sendiri) atau eksternal. Kedua adalah apakah
penyebab itu dipandang sebagai stabil atau tidak stabil. Ketiga adalah apakah
penyebab itu dipersepsi sebagai dapat dikontrol atau tidak. Seperti pada teori
disonan kognitif, asumsi utama dari teori atribusi adalah bahwa orang akan
berupaya mempertahankan gambaran-diri positif (Nur,2003;Covington, 1984). Oleh
karena itu pada saat mereka berhasil dalam suatu kegiatan, mereka cenderung
menghubungkan keberhasilan itu dengan upaya atau kemampuan mereka, tetapi pada
saat mereka gagal, mereka akan percaya bahwa kegagalan mereka itu dikarenakan
faktor-faktor yang tidak dapatmereka control (Nur,2003;Vispoel & Austin,
1995).
Atribusi untuk Berhasil
dan Gagal
Teori
atribusi terutama berkenaan dengan empat penjelasan untuk berhasil dan gagal
dalam situasi pencapaian prestasi, yaitu kemampuan, upaya, kesukaran tugas, dan
keberuntungan. Kemampuan dan upaya diatribusikan sebagai bagian internal
individu, sedangkan tingkat kesulitan tugas dan nasib diatribusikan sebagai
bagian eksternal individu. Kemampuan dipandang relative stabil, keadaan yang
tidak dapat diubah, upaya dapat diubah. Sama halnya, tingkat kesulitan tugas
pada dasarnya adalah karakteristik stabil, sedangkan nasib tidak stabil dan
tidak dapat diramal. Empat atribusi ini dan contoh ungkapan untuk berhasil dan
gagal ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1
Atribusi Berhasil
dan Gagal
Teori atribusi mendeskripsikan dan
mengembangkan implikasi penjelasan seseorang atas keberhasilan dan kegagalannya.
Atribusi
|
Kestabilan
|
|
Stabil
|
Tidak
|
|
Internal
|
Kemampuan
|
Upaya
|
Berhasil:
|
“Saya
pandai.”
|
“Saya
mencoba dengan sungguh-sunguh”
|
Gagal:
|
“Saya
bodoh.”
|
“Saya
tidak sungguh-sungguh mencobanya.”
|
Eksternal
|
Eksternal
|
Nasib
|
Berhasil:
|
“Tugas
itu mudah.”
|
“Saya
sedang beruntung.”
|
Gagal:
|
“Tugas
itu terlalu sukar.”
|
“Saya
sedang sial.”
|
Lokus Kendali dan
Keyakinan Diri
Satu konsep penting dalam teori atribusi
adalah lokus kendali atau locus
of control (Nur,2003; Rotter,
1954). Kata locus berarti lokasi. Seseorang dengan kendali diri internal adalah orang yang
percaya bawa berhasil atau gagal dikarenakan upaya atau kemampuannya sendiri.
Seseorang dengan kendali diri eksternal
cenderung lebih yakin bahwa faktor lain, seperti mujur, kesulitan tugas, atau
tindakan orang lain, yang menyebabkan berhasil atau gagal. Lokus kendali
internal sering disebut keyakinan
kendali-diri atau self-efficacy, keyakinan bahwa
prilaku sendiri itulah yang menyebabkan gagal atau berhasil. Lokus kendali atau
kendali-diri dapat menjadi sangat penting dalam menjelaskan kinerja sekolah
siswa. Contohnya, beberapa peneliti telah menemukan bahwa siswa yang tinggi
dalam lokus kendali internal memiliki nilai dan skor tes yang lebih baik dibandingkan dengan
siswa yang sama inteligensinya nemun
memiliki lokus kendali internal rendah.
Penting untuk dicatat bahwa lokus kendali
dapat sedikit berubah bergantung kepada kegiatan atau situasi tertentu. Satu
kesulitan dalam mempelajari pengaruh lokus kendali pada hasil belajar adalah
bahwa hasil belajar memiliki pengaruh kuat pada lokus kendali itu. Contoh,
siswa yang sama dapat memiliki lokus kendali internal dalam bidang akademik
namun dalam bidang olahraga memiliki lokus kendali eksternal. Apabila siswa ini
tak disangka-sangka menemukan keterampilan dalam suatu cabang olahraga baru, ia
mungkin dapat mengembangkan lokus kendali internal dalam cabang olahraga
tersebut.
Implikasi dari Atribusi
dan Keyakinan Kendali-Diri pada Pendidikan
Teori atribusi penting dalam memahami
bagaimana siswa menginterpretasikan dan menggunakan umpan balik pada kinerja
akademik mereka dan dalam memberikan saran kepada guru bagaimana mereka dapat
memberikan umpan-balik yang memiliki nilai motivasi terbesar. Sejumlah alat
formal dalam rangka lebih menghargai upaya siswa daripada kemampuan mereka
adalah penggunaan pengajaran individual, dimana dasar dari penentuan
keberhasilan siswa adalah tingkat kemajuan yang dicapai siswa itu sendiri;
memasukan unsur upaya sebagai suatu komponen pemberian nilai atau sebagai nilai
tersendiri; atau penggunaan ganjaran untuk setiap perbaikan yang dicapai siswa.
2.2.6
Motivasi dan Teori Harapan
Edward (1954) dan kemudian Atkinson (1964)
mengembangkan teori motivasi berdasarkan pad rumus berikut:
Motivasi
(M) = peluang untuk berhasil yang dipersepsi (Ps) x nilai intensif keberhasilan
(Is).
Rumus ini disebut model harapan, atau
model valensi harapan atau expectancy-valence model, karena model ini sebagian
besar bergantung pada harapan seseorang terhadap ganjaran (Nur,2003; Feather,1982; Locke &
Lathan,1990). Teori ini memiliki implikasi bahwa motivasi orang untuk mencapai
sesuatu bergantung pada hasil kali estmasi peluang berhasil mereka (peluang
yang berhasil dipersepsi, Ps) dan
nilai pengharaan yang akan mereka terima atas keberhasilan (nilai intensif
keberhasilan, Is). Misalnya seseorang yang merasa yakin bahwa
dia, misalnya, akan masuk daftar nominasi sebuah kompetisi jika dia berusaha
keras maka boleh jadi dia akan berusaha dengan keras untuk masuk ke dalam
daftar nominasi. Sementara itu, satu aspek yang
sangat penting darirumus M=Ps x Is
adalah bentuk perkalian dua factor, artinya bahwa apabila orang itu yakin
bahwa peluang mereka untuk berhasil adalah nol atau memandang bahwa keberhassilan itu tidak
memiliki nilai bagi mereka,maka motivasi mereka sama dengan nol. Jika
seseorang, sebut saja Mardi, sangat berminat untuk masuk dalam daftar nominasi
namun yakin bahwa dia tidak memiliki harapan untuk berhasil, ia tidak akan
termotivasi.
Wigfield (1995) menemukan bahwa sumbangan
bersama dua factor, yaitu keyakinan siswa bahwa mereka mampu dan nilai yang
mereka berikan terhadap sukses akademik, lebih besar daripada kemampuan mereka
sebenarnya dalam meramalkan hasil belajar mereka.
Atkinson (1964) menambahkan satu aspek
penting pada teori harapan atau expectancy theory dengan menyatakan bahwa di
bawah kondisi tertentu suatu peluang berhasil terlampau tinggi dapat merusak
motivasi. Atkinson (1958) menjelaskan hal ini dengan mengemukakan bahwa ada
satu hhubungan antara peluang untuk berhasil dan nilai intensif keberhasilan
sedemikian rupa sehingga berhasil dalam suatu tugass dengan mudah tidak
setinggi nilai berhasil bila berhasil dalam suatu tugas yang sulit. Oleh karena
itu, motivasi seharusnya maksimum pada tingkat peluang berhasil moderat
atau sedang. Teori Atkinson itu memperoleh konfirmasi (penegasan),
penelitian lebih kini menemukan bahwa motivasi seseorang meningkat pada saat
kesulitan tugas meningkat sampai pada satu titik di mana orang itu
memutuskan bahwa sangat kecil
kemungkinannya untuk berhasil atau bahwa hasil itu tidak seimbang dengan upaya
yang dilakukan (Nur,2003; Bremh
& Self,1989). Penelitian ini dan oenelitian lain menunjukkan bahwa tingkat
kesulitan tugas yang moderat sampai yang sulit lebih baik daripada tugas yang
mudah untuk motivasi dan belajar (Nur,2003; Clifford, 1990).
Implikasi
teori harapan pada pendidikan
Implikasi
paling penting dari teori harapan adalah logika akal sehat bahwa tugas-tugas
untuk siswa seharusnya jangan terlalu sulit atau terlampau mudah. Apabila
sejumlah siswa yakin bahwa kemungkinannya besar untuk mendapatkan A tidak
memandang apa yang mereka kerjakan, maka motivasi mereka tidak akan
maksimum. Demikian juga hlanya jika
sejumlah siswa merasa yakin akan gagal seperti apapun yang mereka kerjakan,
motivasi mereka akan minimum. Oleh karena itu penilaian harus dibuat sedemikain
sehingga memperoleh A adalah sulit bagi kebanyakan siswa yang layak
mendapatkannya dan mendapatkan nilai
rendah adalah mungkin bagi siswa
yang melakukan upaya kecil. Berhasil harus berada dalam jangkauan, namun
tidak mmudah dicapai untuk seluruh siswa.
2.3
Cara Peningkatan Motivasi Berprestasi
Satu jenis
motivasi paling penting dalam psikologi pendidikan adalah motivasi berprestasi
atau achievement motivation (Nur,2003;McClelland
& Atkinson,1984), kecenderungan berupaya sampai berhasil dan memilih
kegiatan yang mengarah pada keberhasilan dan kegagalan. Sebagai missal, French
(1956) menemukan bahwa diberikan suatu pilihan mitra kerja untuk suatu tugas
yang kompleks, siswa yang memiliki motivasi berprestasi cenderung memilih mitra
yang memiliki kemampuan baik dalam tugas itu, dan siswa yang memiliki
motivasi-afiliasi (yang memiliki motivasi dicintai dan diterima) cenderung
memilih mitra yang ramah. Bahkan setelah mengalami kegagalan, siswa yang
memmiliki motivasi berprestasiakan bertahan lebih lama pada suatu tugas dibandingkan dengan
siswa yang motivasi berprestasinya kurang dan akan cenderung menghubungkan
kegagalan mereka dengan kurangnya upaya. Singktatnya, siswa yang memiliki
motivasi berprestasi ingin dan mengharapkan berhasil; apabila mereka gagal ,
mereka akan melipatgandakan upaya mereka sampai mereka benar-benar berhasil (Nur,2003;Weiner, 1992).
Tidak mengherankan apabila siswa yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung berhasil dalam tugas-tugas (Nur,2003; Spitek,1993). Meskipun
demikian, masih belum jelas apa yang menyebabkan apa: apakah motivasi
berprestasi tinggi menyebabkan keberhasilan di sekolah , atau apakah
kebrehasilan di sekolah menyebabkan motivasi berprestasi tinggi? Sesungguhnya,
masing-masing saling menyumbangkan satu terhadap yang lain; berhasil
menumbuhkan keinginan untuk lebih berhasil, yang pada gilirannya membuahkan
keberhasilan (Gottfried, 1985).
Sebaliknya siswa yang tidak mengalami
pengalaman nerhasil dalam tatanan kegiatan belajar mengajar cenderung untuk
kehilangan motivasi untuk berhasil dalam tatanan seperrti itu dan akan
mengalihkan perhatian ke sesuatu yang lain. Motivasi berprestasi cenderungg
surut di sepanjang tahun-tahun sekolah, namun masih belum jelas apakah kecenderungan ini
dikarenakan hakikat siswa atau hakikat
SLTP atau SLTA (Nur,2003;
Eccles
et al., 1993; Maehr & Anderman,
1993).
2.1.1
Motivasi dan Orientasi Tujuan
Fitur utama teori tujuan adalah
penekanannya pada seberapa berbedanya jenis tujuan bisa mempengaruhi perilaku
dalam situasi berprestasi (Nur,2003;
Anderman
& Wolters, 2006; Elliot, 2005; Maehr & Zusho, 2009; Pintrich, 2003).
Meski kadang orientasi tujuan itu berhubungan, misalnya: belajar menghasilkan
kinerja yang lebih cepat, pentingnya tujuan ini bagi perilaku berprestasi dan
akar pembelajaran dari pengaruh-pengaruh yang mereka miliki pada keyakinan
siswa dan proses kognitif (Nur,2003;Pintrich,
2000).
Motivasi merupakan perilaku yang diarahkan
pada tujuan dilaksanakan dan dipertahankan oleh harapan orang-orang terkait
dengan hasil yang akan muncul atas tindakan mereka dan efikasi diri untuk
menunjukkan tindakan tersebut (Nur,2003;Bandura,
1986, 1991, 1997). Sejumlah siswa motivasinya terorientasi pada tujuan-tujuan
pembelajaran (learning goalsi) atau
penuntasan tujuan (mastery goals);
siswa yang lain berorientasi pada tujuan-tujuan penampilan (performance goals) (Nur,2003; Ames, 1992; Dweck, 1986;
Pintrich, Mark, & Boyle, 1993). Siswa dengan orientasi tujuan pembelajaran
memandang tujuan sekolah sebagai mencapai kompetensi atau kecakapan dalam
keterampilan-keterampilan yang diajarkan, sedangkan siswa dengan orientasi
tujuan penampilan terutama mengupayakan memperoleh penilaian positif terhadap
kompetensi mereka (dan menghindari penilaian negatif). Siswa yang bekerja keras
untuk tujuan- tujuan pembelajaran cenderung mengambil mata pelajaran sukar dan
mencari tantangan; siswa dengan orientasi pada tujuan penampilan memfokuskan pada
upaya mendapatkan nilai-nilai bagus, mengambil mata pelajaran mudah, dan
menghindari situasi yang menantang.
Tujuan Pembelajaran Lawan
Tujuan Penampilan
Siswa
dengan tujuan pembelajaran dan siswa dengan tujuan penampilan tidak berbeda
dalam intelegensi secara keseluruhan, namun kinerja kelas mereka dapat berbeda
jauh. Apabila mereka dihadapkan pada rintangan, siswa orientasi penampilan
cenderung turun semangatnya, dan penampilan mereka memperoleh rintangan yang
serius. Sebaliknya, pada saat siswa yang terorientasi pada belajar menjumpai
rintangan, mereka cenderung untuk tetap mencoba, dan motivasi serta kinerja
mereka benar-benar dapat meningkat (Nur,2003; Dweck, 1986). Siswa berorientasi-belajar
cenderung menggunakan strategi metakognitif atau belajar-mandiri (Nur,2003; Pintrich, Mark, &
Boyle, 1993). Siswa berorientasi-penampilan yang mempersepsi kemampuan mereka
rendah cenderung jatuh ke dalam suatu pola ketakberdayaan, karena mereka yakin
bahwa mereka memiliki peluang kecil untuk memperoleh nilai bagus. Siswa
berorientasi-belajar yang mempersepsi kemampuan mereka rendah tidak berperasaan
seperti ini, karena mereka menaruh perhatian pada berapa banyak mereka dapat
belajar bagi diri mereka sendiri, tanpa memandang kinerja temannya (Nur,2003; Nicholls, 1984).
Sayangnya, terdapat bukti bahwa sepanjang studi mereka di sekolah, siswa
cenderung bergeser dari tujuan belajar atau ketuntasan ke tujuan penampilan (Nur,2003; Meece, Miller, &
Ferron, 1995). Akhir-akhir ini, Urdan dan Maehr (1995) mengemukakan orientasi
tujuan ketiga, tujuan sosial. Artinya, sejumlah siswa belajar untuk
menyenangkan guru, orang tua mereka, atau teman sebaya mereka.
Implikasi
atau secara tidak langsung maksud paling penting dari penelitian tentang
tujuan-tujuan belajar lawan tujuan-tujuan penampilan adalah bahwa guru
hendaknya berusaha untuk meyakinkan siswa bahwa maksud dari kerja akademik
adalah lebih terletak pada belajar bukan pada penampilan atau nilai. Hal ini
dapat dilakukan dengan menekankan nilai minat dan kepentingan praktis dari
materi yang sedang dipelajari dan tidak menekankan nilai atau penghargaan
lainnya. Sebagai misal, seorang guru dapat mengatakan, “Hari ini kita akan
belajar tentang kejadian-kejadian jauh di dalam perut Bumi yang menyebabkan
letusan gunung yang membara!” daripada mengatakan “Hari ini kita akan belajar
tentang gunung. Perhatikan baik-baik sehingga kamu dapat mengerjakan tes besok
dengan baik.” Khususnya, penggunaan penilaian yang amat kompetitif atau sistem
insentif hendaknya dihindari. Apabila siswa memiliki persepsi bahwa hanya ada
satu standar keberhasilan di kelas dan hanya sedikit orang yang dapat mencapai
standar itu, siswa-siswa yang memiliki persepsi kemampuan mereka rendah akan
cenderung menyerah sejak awal (Ames, 1992). Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa jenis-jenis tugas yang digunakan di kelas memiliki pengaruh yang kuat
terhadap pengadopsian atau pemungutan tujuan-tujuan belajar siswa. Penggunaan
tugas-tugas yang menantang, bermakna, dan berkaitan dengan kehidupan nyata
mengantarkan pada tujuan-tujuan belajar dibandingkan dengan tugas-tugas lain (Nur,2003; Ames, 1992; Blumenfeld,
1992; Meece, 1991).
Berusaha untuk Berhasil
Lawan Menghindari Kegagalan
Atkinson
(1964), memperlua kerja McCleland dalam motivasi berprestasi, mencatat bahwa
individu dapat dimotivasi untuk berprestasi dengan salah satu dari dua cara:
berusaha untuk berhasil atau menghindari kegagalan. Ia menemukan bahwa sebagian
orang lebih termotivasi untuk menghindari kegagalan daripada berusaha untuk
berhasil (penghindar kegagalan), sedang sebagian lebih termotivasi untuk
berusaha untuk berhasil daripada menghindari kegagalan (pencari keberhasilan).
Motivasi pencari keberhasilan bertambah setelah mengalami suatu kegagalan,
sehingga mereka mengintensifkan atau mempergiat upaya mereka untuk berhasil.
Penghindar kegagalan menurunkan upaya mereka setelah mengalami suatu kegagalan
(Weiner, 1986).
Memahami
bahwa merupakan hal yang biasa bagi penghindar kegagalan untuk memilih tugas
yang amat sulit atau yang amat mudah bagi mereka sendiri sangat penting bagi
guru. Sebagai misal, pembaca yang jelek dapat memilih menulis sebuah laporan
buku berjudul War and Peace dan,
apabila diberi tahu tugas itu terlalu sulit, ia bahkan dapat memilih buku
anak-anak yang sederhana. Siswa seperti itu tidak melakukan tipu daya tetapi
sekedar melakukan yang terbaik untuk mempertahankan gambaran-diri positif.
2.1.2
Ketakberdayaan Belajar dan Pelatihan Atribusi
Satu
bentuk ektrim dari motivasi untuk menghindari
kegagalan disebut ketakberdayaan belajar atau learned helplessness, yang
merupakan persepsi atau pandangan bahwa apapun yang dilakukan oleh seeorang,
orang itu telah ditakdirkan untuk gagal atau tidak behasil: “Tak ada satupun
yang saya lakukan punya arti” (Maier, Seligman, dan Solomom, 1969). Dalam tatanan akademik, ketakberdayaan akademik
dapat dihubungkan dengan penjelasan stabil kegagalan: “saya gagal karena saya
bodoh, dan itu berarti saya akan selalu gagal” (Nur,2003; Diener dan Dweck, 1978
;Dweck, 1975).
Ketakberdayaan
belajar dapat timbul dari asuhan atau didikan anak (Nur,2003; Hakoda dan Fincman, 1995)
namun juga dapat terjadi dari penggunaan penghargaan dan hukuman yang tidak
konsisten (tidak ajeg) dan tidak dapat diramal yang dilakukan guru, menyebabkan
siswayakin bahwa sedikit yang dapat mereka lakukan agar berhasil.
Ketakberdayaan belajar dapat dihindari atau dikurangi dengan memberi siswa
kesempatan untuk berhasil dalam langkah-langkah kecil, umpan-balik-segera, dan
yang paling penting, harapan dan tindak-lanjut yang konsisten (Alderman, 1990).
Lebih memfokuskan pada tujuan-tujuan belajar daripada tujuan-tujuan penampilan
dapat mengurangi ketakberdayaan, karena seluruh siswa sedikit banyak dapat
mencapai tujuan-tujuan belajar (Dweck, 1986).
Beberapa
penelitian telah menemukan bahwa ketakberdayaan belajar dalam bentuk kegagalan
yang berulang dapat dimodifikasi dengan suatu program latihan atribusi (latihan
menjelaskan sebab-sebab keberhasilan dan kegagalan) yang lebih menekankan pada
lemahnya upaya, daripada lemahnya kemampuan, sebagai penyebab penampilan jelek
itu (Nur,2003; Forsterling,
1985;McComjbs, 1984). Sebagai misal,
Schunk (1982, 1983) menemukan bahwa siswa yaang menerima pernyataan-pernyataan
pngatribusian keberhasilan dan kegagalan masa lampau mereka untuk terus
berupaya, berkinerja lebih baik dari pada siswa yang tidak mendapatkan umpaan
balik.
2.1.3
Teori ke dalam Praktek
Membantu Siswa Mengatasi
Ketakberdayaan Belajar konsep ketakberdayaan belajar
diturunkan dari teori bahwaa siswa dapat menjadi gagal akademik melalui proses
pengkondisian berdasarkan pada umpan-balik negatif dari guru, pengalaman
sekolah, teman sejawat, dan siswa itu sendiri. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
apabila siswa terus-menerus gagal, mereka akhirnya menyerah. Mereka terkondisi
menjadi tak berdaya (Nur,2003;
Seligman,
1975).
Guru
dapat menetralkan sindrom (kumpulan gejala) ini dengan berbagai cara pada dua
tingket, elemnter dan sekunder, meliputi latihan atribusi, restrukturisasi
(penyusunan-ulang) tujuan, program percaya-diri, pendekatan berjamin
keberhasilan, dan sistem umpan balik positif. Prinsip-prinsip umum berikut ini
membantu unttuk seluruh siswa, khususnya siswa yang menunjukan kecendrungan
menerima kegagalan.
a.
Menonjolkan
hal positif
Berupaya untuk mengetahui
kekuatan-kekuatan siswa, dan menggunakan kekuatan-kekuatan ini sebagai bahan
dasar membangun. Setiap siswa memiliki sesuatu yang ia dapat lakukan dengan
baik. Hati-hatilah agar kekuatan itu benar-benar ada atau autentik. Mintalah
siswa untuk menyelesaikan tugas dengan menyampaikan secara lisan daripada
tertulis. Pada saat rasa percaya diri mulai dapat ditimbulkan, sedikit demi
sedikit berikan tugas menulis.
b.
Singkirkan
hal negatif
Jangan menyepelekan atau
mengabaikan kelemahan siswa. Tangani kelemahan itu secara langsung namun dengan
menggunakan cara-cara yang bijak. Pada contoh diatas, berbicaralah dengan siswa
tentang masalah-masalah yang dihadapi pada tugas menulis. Kemudian berikan
kesempatan siswa mengembangkan suatu rencana untuk memperbaiki keterampilan
menulis. Diskusikan rencana itu, dan bersama-sama membuat kontrak tentang
bagaimana rencana itu akan diselesaika.
c.
Mulailah
dari yang dikenal menuju ke yang baru, menggunakan advance organizer ( kegiatan atau tekhnik agar siswa lebih
mengenal dan tahu terhadap materi yang akan dipelajari) atau penemuan
terbimbing.
Sejumlah siswa mengalami
kesulitan dengan konsep, keterampilan atau ide yang mereka tidak kenal. Juga,
siswa menghubungkan lebih baik pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan
pengalaman mereka sendiri. Sebagai contoh, seorang guru matematika SMU dapat
mulai suatu pelajaran dengan soal
matematika yang dapat dihadapi siswa dalam dunia nyata, seperti
menghitung pajak penjualan pada saat membeli sebuah CD player. Selanjutnya,
guru itu dapat meminta siswa untuk membawa kedalam kelas soal-soal matematika
yang mereka jumpai diluar sekolah. Seluruh kelas dapat menjadi terlibat dalam
pemecahan soal matematika siswa.
d.
Menciptakan tantangan dalam siswa secara aktif
Menciptakan
masalah dan memecahkannya dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan
mereka sendiri.
2.1.4
Harapan Guru dan Hasil Belajar
a.
Bagaimana
Guru Mengkomunikasikan Harapan-harapan
Positif merupakan hal yang penting bagi guru untuk mengkomunikasikan
kepada siswa mereka harapan yang mereka dapat pelajari (Babad, 1993). Ada beberapa cara implisit atau tersirat yang
dapat digunakan para guru dalam mengkomunikasikan harapan-harapan positif dari siswa mereka
(atau menghindari harapan – harapan negatif).
·
Menunggu
siswa untuk merespon atau memberikan jawaban : Rower (1974) dan lain-lainnya
telah mencatat bahwa guru bersedia menunggu lebih lama untuk mendapatkan
jawaban-jawaban dari siswa terhadap siapa guru itu memiliki harapan tinggi
dibandingkan dengan saat menunggu siswa lain. Waktu tunggu yang lebih lama
dapat mengkomunikasikan harapan tinggi dan meningkatkan prestasi siswa (Tobin,
1987).
·
Menghindari
pembedaan prestasi belajar di antara siswa yang tidak perlu : hasil evaluasi dan nilai hendaknya merupakan
hal yang bersifat pribadi di antara siswa dan guru mereka, bukan informasi
untuk umum. Pembentukan kelompok – kelompok membaca dan matematika
dipandang dari sudut pengajaran pada sejumlah kelas perlu, tetapi guru
hendaknya menghindarkan penetapan hierarkhi atau ranking kelompok secara kaku,
hendaknya memperlakukan kelompok-kelompok
itu secara sama dan penuh hormat, dan hendaknya siap untuk memindahkan satu
siswa dari satu kelompok ke kelompok lain
apabila dipandang perlu.
2.1.5
Kecemasan dan Prestasi Belajar
Kecemasan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan. Setiap siswa merasakan
sejumlah kecemasan pada suatu waktu pada saat di sekolah dan untuk siswa
tertentu, kecemasa menghambat belajar atau kinerja mereka secara serius,
khususnya pada saat tes (Nur,2003;
King
& Ollendick, 1989).
Sumber
utama kecemasan di sekolah adalah ketakutan akan gagal, disamping ketakutan
akan kehilangan harga diri (Hill & Wigfield, 1984). Siswa yang prestasi
belajarnya rendah cenderung cemas di sekolah, namun mereka tidak sendirian.
Kecemasan dapat menghambat kinerja sekolah dalam beberapa cara. Siswa yang
cemas cenderung memiliki kesadaran diri yang berlebihan dalam setting kinerja,
suatu perasaan yang dapat mengalihkan perhatian dari tugas yang sedang
ditangani.
Guru
dapat menerapkan banyak strategi untuk mengurangi dampak negatif kecemasan
terhadap belajar dan kinerja. Misalnya, dalam suatu ujian guru dapat melakukan
banyak hal untuk membantu siswa yang cemas agar dapat melakukan yang terbaik.
Guru dapt meniadakan tekanan waktu, memberikan siswa banyak waktu untuk
menyelesaikan tes dan memeriksa pekerjaan mereka. Tes yang mulai dari soal
mudah dan secara bertahap memasukkan soal yang lebih sulit lebih baik bagi
siswa cemas dan tes dengan standar, format jawaban singkat membantu siswa
cemas. Anak yang cemas dalam menghadapi tes dapat dilatih dalam keterampilan
mengerjakan tes, dan hal ini akan memiliki dampak positif terhadap kinerja tes
mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uaraian
diatas maka kami dapat menarik kesimpulan yang menunjukan pengertian motivasi
itu sendiri, kemudian beberapa
teori-teori motivasi dan teknis dalam meningkatkan motivasi belajar.
Dimana motivasi adalah proses internal yang mengaktifkan,
memandu, dan mempertahankan prilaku dari waktu ke waktu. Indiividu termotivasi
karena berbagai alas an yang berbeda, dengan intensitas yang berbeda, dan
dengan arah yang berbeda.
Dimana
teori-teori motivasi sesuai dengan buku
refrensi yang kami gunakan sebagai berikut, motivasi dan teori pembelajaran
prilaku, motivasi dan kebutuhan manusia, motivasi dan teori disonan kognitif,
motivasi dan teori keperibadian, motivasi dan teori atribusi dan motivasi dan
teori harapan, ini merupakan teori pendukung yang memperkuat penjelasan
mengenai motivasi itu sendiri. Dan tentunya dalam menjalankan proses belajar
dan pembelajaran tentunya ada cara dan teknik yang harus dilakuakan dalam
meningkatkan motivasi berprestasi diantarannya adalah motivasi dan orientasi
tujuan, ketakberdayaan belajar dan pelatihan atribusi, teori ke dalam praktek,
harapan guru dan hasil belajar, dan
kecemasan dan prestasi belajar. Demikian kesimpulan yang kami ambil dari uraian
makalah yang kami susun uraian secara rinci terdapat pada bagian bab kedua dari
makalah ini.
3.2 Saran
Diharapkan kepada para pembaca khususnya mahasiswa calon guru maupun para pendidik harus mampu membuat suasana yang dapat membangkitkan
motivasi dalam belajar. Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh pembaca mampu
memahami dengan baik mengenai teori-teori mengenai motivasi agar nantinya mampu
menciptakan suasana belajar yang menumbuhkan motivasi belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
J.R . 1985 . Cognitive Psychology And Its
Implications [3rd Ed] . New York : Freeman .
Budiningsih, Asri.1997. Belajar dan pembelajaran. Jakarta:Rineka Cipta
Hamalik, Oemar .2001. Proses Belajar Mengajar.Jakarta: Bumi Aksara.
http://budibicara02.blogspot.com/2012/12/teori-kognitif-sosialteori-tujuan-dan.html
Nur, Muhamad.1998. Pemotivasian Siswa untuk Belajar .Surabaya:Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Surabaya.
Roestiyah, N.K .2008. Strategi Belajar Megajar.Jakarta: Rineka Cipta.
Saya mau tanya, apakah anda masih punya buku pemotivasian siswa untuk belajar..??
BalasPadam