BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ilmu
pengetahuan alam (IPA) merupakan salah satu mata pelajaran yang terdapat di
dalam struktur kurikulum pendidikan di tingkat SD/MI dan SMP/MTs yang
dimaksudkan agar siswa dapat mengenal, menyikapi, dan mengapresiasikan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta dapat menanamkan kebiasaan berfikir dan
berprilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri.
Pada
hakekatnya, IPA dapat dipandang dari segi produk, proses, dan dari segi
pengembangan sikap. Artinya belajar IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil
(produk), dan dimensi pengembangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut
bersifat saling terkait. Ini berarti bahwa proses belajar mengajar IPA
seharusnya mengandung ketiga dimensi IPA tersebut (Sulistyorini, 2007).
Pemerintah
telah menetapkan standar nasional pembelajaran IPA yang ditetapkan di dalam
Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendikas No. 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, atas dasar tersebut pihak
penyelenggara pendidikan menentukan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) untuk
semua mata palajaran sebagai tolak ukur ketercapaian kompetensi mata pelajaran
yang telah dilaksanakan.
Nilai
KKM untuk mata pelajaran IPA di setiap sekolah dan di setiap kelas
berbeda-beda. Di SMP Jaya Krama Beringin nilai KKM IPA di kelas VIII pada tahun
pelajaran 2009/2010 sebesar 65. Akan tetapi dari data observasi yang telah
dilakukan pada salah satu kelas hanya terdapat 10% siswa yang mampu mencapai nilai ketuntasan, hal tersebut ditujukkan dari
rendahnya nilai hasil ujian blok, ujian tengah semester, dan ujian semester di
semester ganjil dengan nilai rata-rata 52,00. Temuan lain dari hasil observasi
yang telah dilakukan yaitu proses pembelajaran yang telah dilakukan, aktifitas
siswa tampak kurang aktif dalam belajar dan cenderung pasif tidak serta tidak
kreatif dalam mengemukakan pendapat, sementara guru banyak memberikan
tugas-tugas yang cenderung memaksa siswa harus menguasainya sehingga siswa
tampak tertekan dan susana belajar kurang tampak menyenangkan.
Dari data yang
diperoleh, selanjutnya penulis melakukan observasi lanjutan untuk
mengidentifikasi permasalahan siswa dalam pencapaian hasil belajar. Melalui
angket yang dibenkan kepada siswa dan guru, diperoleh keterangan bahwa sebagian
besar siswa menyatakan mengalami kesulitan untuk memahami materi pelajaran IPA
yang disampaikan guru dengan memberikan catatan dan penjelasan yang abstrak.
Selanjutnya siswa menyatakan bahwa pembelajaran IPA yang telah dilakukan sangat
membosankan dan kurang menyenangkan. Selama proses pembelajaran berlangsung
guru tidak pernah menggunakan media sebagai alat bantu dalam belajar sehingga
setelah melakukan proses pembelajaran siswa kurang terkesan dengan materi
pelajaran yang telah disampaikan oleh guru. Kemudian dari keterangan guru
diperoleh keterangan bahwa proses kegiatan pembelajaran IPA yang telah
dilakukan selama ini hanya menggunakan metode ceramah dan belum pernah
mengembangkan berbagai model pembelajaran untuk menyampaikan materi IPA.
Berbagai
temuan permasalahan proses pembelajaran IPA yang terjadi di SMP Jaya Krama
Beringin menunjukkan bahwa pembelajaran IPA yang telah dilakukan guru selama
ini masih cenderung menggunakan pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred
approaches) dengan strategi pembelajaran langsung (direct instruction) melalui
metode ceramah.
Penerapan
metode ceramah dalam pembelajaran yang sering dilakukan guru merupakan wujud
pengimplementasian strategi pembelajaran langsung dan strategi ekspositori yang
menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru
kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi
pelajaran secara optimal. Dalam strategi ini materi pelajaran disampaikan
langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu (Dharma,
2008).
Akan
tetapi pada kenyataannya proses pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah
selalu digunakan guru di SMP Jaya Krama Beringin untuk menyampaikan semua
materi pelajaran IPA. Sehingga dapat diindikasikan bahwa rendahnya hasil
balajar IPA siswa selama ini disebabkan karena penggunaan metode ceramah dan
proses pembelajaran yang berpusat pada guru ketika menyajikan semua materi
pelajaran IPA tanpa menggunakan media.
Mengatasi permasalahan
di atas, peneliti bersama guru mata pelajaran melakukan beberapa upaya
perbaikan tindakan pada penyajian materi tentang Pertumbuhan dan Perkembangan
di kelas VIII C yang akan disajikan pada pertemuan berikutnya, upaya perbaikan
tindakan tersebut adalah dengan meningkatkan hasil belajar IPA dan aktifitas
pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) melalui model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning)
dengan
menggunakan media komputer pada materi pertumbuhan dan perkembangan.
Penerapan
model pembelajaran berbasis masalah {Problem Based Learning) pada
kegiatan pembelajaran didukung oleh teori belajar konstruktivisme yang
dipelopori oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky serta didukung pula oleh teori discovery
learning oleh Bruner (1967). Menurut Jean Piaget dalam Arends (2008) pelajar
dengan umur berapa pun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi
dan mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi
berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengkonstruksikan
pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan
memodifikasi pengetahuan sebelumnya.
Selanjutnya
pengembangan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM)
dalam proses kegiatan pembelajaran merupakan implementasi Undang-undang Nomor
20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 40 yang salah satu ayatnya
berbunyi "guru dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan
dialogis" (Indrawati, 2009).
Menurut
Indrawati (2009) konteks PAKEM dalam belajar dimaknai sebagai proses aktif
dalam membangun pengetahuan atau membangun makna. Dalam prosesnya seseorang
siswa yang sedang belajar, akan terlibat dalam proses sosial. Mewujudkan
pembelajaran PAKEM IPA bukan hanya menerapkan model pembelajaran yang berpusat
pada siswa saja, akan tetapi didukung juga dengan pemanfaatan media belajar.
Arsyad (2007) menerangkan dalam suatu proses belajar mengajar, ada dua unsur
yang amat penting yaitu metode mengajar dan media pembefajaran. Dalam
proses pembelajaran IPA media pembelajaran sangat dibutuhkan untuk membatu
siswa dalam memahami konsep yang diberikan guru. Djumhana (2009) menjelaskan
bahwa media pembelajaran IPA merupakan alat yang sangat dibutuhkan oleh guru
IPA untuk membantu siswa dalam memahami konsep ketika belajar IPA, terutama
media yang dioperasionalkan sendiri oleh siswa.
Selanjutnya Ibrahim
dalam Arsyad (2007) menjelaskan betapa pentingnya media pembelajaran karena
media pembelajaran membawa dan membangkitkan rasa senang dan gembira bagi
murid-murid dan memperbaharui semangat mereka dan membantu memantapkan
pengetahuan pada benak para siswa serta menghidupkan pembelajaran. Atas dasar
paparan latar belakang di atas, melalui penelitian tindakan kelas ini akan dirancang
rencana proses pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dan aktifitas
PAKEM melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based
Learning) dengan menggunakan media komputer.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa saja permaslahan pembelajaran IPA di sekolah
?
2.
Bagaimana alternatif pemecahan permasalahan
pembelajaran IPA di sekolah ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa saja permaslahan
pembelajaran IPA di sekolah
2.
Untuk mengetahui pemecahan permasalahan
pembelajaran IPA di sekolah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERMASALAHAN
PENDIDIKAN IPA
Dalam
pasal 3 UU no 2 tahun 1989 tentang
sistem pendidikan nasional, tertera bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia
indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya
pasal 4 tentang tujuan pendidikan nasional menggariskan bahwa pendidikan
nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan kesehatan
jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dari
rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang dikemukakan di atas jelas
sekali betapa besar tanggung jawab kita dalam merencanakan dan melaksanakan dan
mengelola pendidikan pada umumnya pendidikan sains pada khususnya di negara
tercinta ini.
Lebih
lanjut UU No 2 tahun 1989 mengenal tiga jenjang pendidikan : pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Masing-masing jenjang telah
ditegaskan tugasnya, dan jenjang pendidikan yang lebih rendah merupakan
persiapan bagi pendidikan yang lebih tinggi jenjangnya, dan juga sebagai
persiapan memasuki dunia kerja. Untuk keperluan modul ini hanya jenjang
pendidikan dasar yang akan diuraikan lebih lanjut , tugasnya yaitu :
Pendidikan
dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan
pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat
serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti
pendidikan menengah (pasal 15 ayat 1).
Dengan
membahas permasalahan pendidikan IPA tentang beberapa aspek pendidikan sains,
diharapkan dalam modul ini akhirnya dapat dikemukakan beberapa gagasan dalam
menyongsong tugas yang ditimpakkan pada kita semua untuk mengembangkan
kurikulum pendidikan sains untuk pendidikan dasar 9 tahun.
1.
Cara
Belajar Siswa Aktif
Kalau
kita perhatikan betapa terkenalnya CBSA dalam dunia pendidikan pada umumnya,
pendidikan sains pada khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini kita tentu
dapat berharap bahwa kualitas pendidikan kita akan meningkat. Tetapi ternyata
tidak demikian. Apakah sebabnya? Cukup sulit untuk menjawabnya.
Beberapa
hasil pengamatan dapat dikemukakan di bawah ini. mungkin karena konsep CBSA itu
tidak begitu jelas bagi sebagian besar guru ada yang menganggap siswa baru
aktif bila ia terlihat dalam pemecahan masalah. Demikian pula CBSA bertitik
tolak dari anggapan bahwa siswa memiliki potensi untuk berfikir sendiri dan
untuk itu ia harus diberi kesempatan. Bagaimana pelaksanaannya di lapangan?
Guru membiarkan para siswa melakukan kegiatan-kegiatan tahpa diberi bimbingan,
apakah itu merupakan pertanyaan, sebab dengan membimbing kesempatan untuk
berfikir sendiri dikurangi. Ada pula guru yang mengasosiasikan CBSA dengan
belajar kelompok. jadi kalau para siswa belajar secara klasikal maka CBSA tidak
dapat diterapkan. Yang lebih hebat lagi ialah mengasosiasikan CBSA dengan macam
bangku sekolah. Bila bangku sekolah itu seperti jaman dahulu yaitu tidak dapat
dipindah-pindahkan karena berat maka CBSA tidak dapat dilaksanakan dan yang
lebih mengejutkan lagi ialah foto yang dimuat dalam koran KOMPAS dua atau tiga
tahun yang lalutentang pelajaran CBSA yang berlangsung di salah satu sekolah
dasar di Cianjur dan foto itu menunjukkan ada seorang siswa yang naik ke atas
meja dan inilah yang rupanya menjadi ukuran keaktifan siswa itu. Pada hal
keaktifan dalam rangka CBSA meliputi keaktifan mental meskipun untuk mencapai
maksud ini dalam bannyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam
berbagai bentuk keaktifan fisik (Raka Joni, 1980 : 2). Selanjutnya dikemukkakan
pula bahwa dalam melaksanankan CBSA para siswa hendaknya tidak begitu saja
berpikir, akalu para guru tidak memberi rangsangan ke arah itu, yaitu dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang meminta mereka berpikir bukan pertanyaan
hafalan. Dan inilah yang masih kurang sekali kita amati berlangsung dalam
kelas. Kalau guru bertanya, pada umumnya pertanyaan itu berupa pertanyaan
“apa”. Jarang kita mendengar pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana”, yang
meminta para siswa untuk berpikir dalam memberikan jawaban. Salah satu
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat mengungkapkan, bahwa 90%
pertanyaan guru merupakanpertanyaan yang meminta para siswa menghafal ( Carin
Sund, 1970 ). Tidak mustahil kalau hal ini juga ditemukan di negara kita dewasa
ini.
Perlu
dikemukakan, bahwa usaha kearah menggalakkan CBSA dalam pendidikan pada umumnya
ditekankan oleh bapak mentri pendidikan dan kebudayaan kita pada sambutan pada
pembukaan rapat kerja nasional 1988 departemen pendidikan dan kebudayaan ;
sedangkan di toko buku banyak buku yang mencantumkan bahwa pendekatan yang
digunakan adalah CBSA. Untuk pendidikan IPA misalnya kita temukan anatara lain
buku “ belajar aktif ilmu pengetahuan alam” karangan Ella Yulailawati
Matahelemual (1989) untuk sekolah dasar. Yang masih dipertanyakan ialah sejauh
mana keinginan bapak mentri dan para penulis buku ini menjdai kenyataan dalam
kelas.
2.
Pendekatan
Keterampilan Proses
Selain
CBSA dunia pendidikan kita juga mendengung-dengungkan penggunaan pendekatan
keterampilan proses. Apakah sebenarnya pendekatan keterampilan proses itu?
Conny
Semiawan dan kawan-kawan (1985) mengemukakan bahwa dengan mengembangkan
keterampilan-keterampilan memproseskan perolehan (mengamati, menghitung,
mengukur, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang/waktu, membuat hipotesis
merencanakan penelitian/ eksperimen, mengendalikan variabel, menafsirkan data,
menyusun kesimpulan sementar, meramalkan, menerapkan, mengkomunikasikan), anak
akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta
menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar
mengajar semacam ini akan menciptakan kondisi
cara belajar siswa aktif. Jadi apa yang dikemukakan dulu tentang CBSA
lebih diperjelas oleh penggunaan pendekatan keterampilan proses ini.
Dalam
pendidikan sains keterampilan proses itu sudah dipermasalahkan sejak tahun
1980. Pada bulan september 1980 tim pendidikan sains dari BP3K dengan bantuan
dari british council mengadakan seminar loka karya dengan tujuan agar para guru
sains di sekolah dasar di daerah itu agar diketahui betapa miskinnya
pengetahuan guru tentang keterampilan-keterampilan proses sains ini, apalagi
tentang pengembangannya selama pengajaran(wyne harien dan rana dahar, 1981).
Dalam tahun-tahun berikutnya diadakan penataran bagi para guru didaerah ini
untuk menyadarkan mereka betapa pentingnya pengembangan keterampilan proses itu
dalam pendidikan sains.
Kita
mengetahui bahwa sains itu pada hakikatnya meliputi kumpulan pengetahuan yang
dikenal dengan produk sains dan keterampilan-keterampilan sikap-sikap serta
nilai-nilai yang dikenal dengan proses sains. Produk sains yang berupa
fakta-fakta konsep-konsep prinsip-prinsip hukum-hukum dan teori –teori sains
yang kita kenal dewasa ini yang begitu banyak itu sehingga kita mendengar kata
“ledakan pengetahuan” dicapai berkat proses sains itu. Jadi kalau kita hanya
mengajarkan produk sains pada anak-anak kita tanpa mereka mengetahui dan
memiliki proses sains maka yang kita ajarkan bukan sains dan tidak dapat kita
harapkan mereka akan menjadi ilmuan dikemudian hari yang akan dapat ikut serta
dalam mengembangkan dan memperoleh pengetahuan sains. Kita tidak akan mengenal
pemenang hadiah nobel dari indonesia. Selama ini kita hanya mengimport sains
dari negara-negara yang sudah maju dan yang kita import lebih banyak produk
sains dari pada proses sains(B.Soeprapto , 1982). Dengan kata lain perkataan
selama ini kita hanya menerima informasi ilmiah itu. Padahal sebagai bangsa
kita juga ingin mempunyai andal dalam pertumbuhan sains yang dewasa ini sangat
mempengaruhi kehidudpan kita. Apa yang dapat kita lakukan dalam pendidikan
sains?
Sebenarnya
kurikulum 1975 sudah mengingatkan kita bahwa dalam pendidikan sains baik produk
maupun proses sains harus dikembangkan pada anak-anak kita. Hal ini lebih
banyak ditegaskan lagi dalam kurikulum 1984. Kemudian muncul apa yang dinamakan
pendekatan keterampilan proses. Tetapi di lapangan tidak begitu banyak
perubahan yang kita lihat. Para guru masih bnayak menekankan pada pemberian
informasi pada para siswa. Bebrapa alasan yang dikemukakan ialah sarana tidak
memadai jumlah siswa dalam kelas terlalu banyak materi yang harus diajarkan
terlalu banyak dan evaluasi yang didakan apakah itu baik evaluasi formatif
maupun evaluasi sumatif tidak mengukur pencapaian proses sains. Lalu para guru
cenderung mengajar dengan berpedoman pada bentuk-bentuk test yang biasa
diberikan dalam test formatif atau test sumatif. Dan di pasaran buku yang
paling laku ialah buku latihan soal. Jadi bagaimana mau tercapai tujuan
pendidikan sains agar anak-anak kita selain menguasai konsep-konsep sains
diharapkan juga memiliki keterampilan-keterampilan proses, sikap-sikap dan
nilai-nilai sehingga dapat ikut serta dalam proses pengembangan sains
dikemudian hari.
Kita
dapat bertanya bagaimana sebetulnya mengembangkan keterampilan-keterampilan
proses dalam pendidikan sains itu ? mungkin penggunaan pendekatan keterampilan
proses yang telah dikemukakan diatas harus lebih diperjelas. Untuk pendidikan
sains mungkin untuk tingkat pendidikan dasar, keterampilan-keterampilan proses
yang perlu dikembangkan ialah mengamati menafsirkan pengamatan meramalkan
menggunakan alat/bahan menerapkan konsep merencanakan penelitian berkomunikasi
mengajukan pertanyaan. Untuk dapat lebih operasional kedelapan
keterampilanproses itu dapat diuraikan lagi misalnya untuk sampai pada
menfsirkan pengamatan para siswa harus melakukan: mencatat setiap pengamatan
secara terpisah menghubungkan hasil-hasil pengamatan menemukan suatu pola dalam
satu seri pengamatan, menarik kesimpulan. Yang menjadi masalah sekarang ialah
apakah semua keterampilan proses itu harus secara hirakis dikembangkan dan
apakah selalu anak-anak harus melakukan eksperimen untuk akhirnya dapat meiliki
keterampilan-keterampilan proses itu ? saya kira kita tidak perlu berbuat
demikian karena kondisi pendidikan di negara kita tidak mengijinkan. Tetapi
bagaimanapun keadaan yang kita hadapi kita tetap bertujuan agar siswa
memperoleh sains sebagai produk dan proses. Untuk itu disarankan pendekatan
keterampilan proses sains yang mengikuti prinsip-prinsip berikut.
Bebrapa
prinsip yang mendasari pendekatan keterampilan proses dalam pendidikan sains
adalah:
1. Dalam
menyusun strategi mengajar pengembangan keterampilan proses terintegrasi dengan
pengembangan produk sains (konssep-konsep perlu diseleksi untuk menghindari
banyaknya materi yang harus diajarkan) sebab perkembangan ilmiah anak pada
hakikatnya merupakan interaksi antara
konsep-konsep keterampilan-keterampilan proses sains serta nilai-nilai dan
sikap-sikap yang timbul akibat dimilikinya konsep dan keterampilan proses sains
itu.
2. keterampilan-keterampilan
proses sains mulai dari mengamati hingga mengajukan pertanyaan tidak perlu
merupakan suatu urutan atau hirarki yang harus diikuti dengan mengajar sains
kedelapan keterampilan-keterampilan proses sains itu merupakan sejumlah
keterampilan proses sains yang diperkirakan sesuai dengan tingkat perkembangan
anak di sekolah dasar dan sekolah menengah.
3. setiap
pendekatan atau metode mengejar yang diterspkan dalam pendidikan sains dapt
digunakan untuk mengembangkan keterampilan proses sains. Jumlah dan macam
keterampilan proses sains tidak perlu sama untuk setiap metode atau pendekatan
yang digunakan guru, asal sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan materi
yang akan diajarkan.
4. pendekatan
keterampilan proses tida menunjukan suatu dikhotomi, tetapi menunjukkan suatu
kontinum, dengan metode ceramah yang dapat mengembangkan keterampilan proses
sains yang pling sedikit hingga metode memecahkan masalah atau pendekatan
inkuiri bebas yang paling banyak.
5. dalam
satu satuan waktu, apakah itu satu catur wulan atau satu semester, seluruh
keterampilan proses sains harus pernah dikembangkan, dan tersebar pada seluruh
materi yang diajarkan dalam satu satuan waktu itu. Pengembangannya hendaknya
semaksimal mungkin sesuai dengan waktu pelajaran yang tersedia, dan
memperhatikan keseimbangan antara keterampilan-keterampilan proses sains yang
dikembankan. Perlu ditambahkan bahwa pertanyaan guru memegang peranan penting
dalam menerapkan pendekatan keterampilan proses ini.
3. Kontruktivisma dalam
Belajar Mengajar
Pandangan yang akhir-akhir ini
mendapat perhatia ialah pandangan, bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran
anak. Inilah pandangan yang dianut para konstruktivis.
Berdasarkan penelitiannya tentang
bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan, Piaget samapai pada kesimpulan,
bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Penelitiannya inilah yang
menyebabkan ia dikenal sebagai konstruktivis pertama (Bodner, 1986). Ia
mempelajari perkembangan berpikir anak-anak, sebab menurutnya ini adalah
satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana kita memeperoleh
pengetahuan” (Kamis, 1980). Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun
sambil anak (yang belajar) mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas
struktur-struktur mental atau skema-skema yang sudah ada padanya. Sebagai
seorang epistemolog Piaget membedakan antara pengetahuan fisik (physical knowledge), pengetahuan
logikomatematik (logico-matematical
knowledge), dan pengetahuan social (social
knowledge).
Pengetahuan fisik merupakan
pengetahuan tentang benda-benda, yang ada “di luar” dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal. Mengenal fakta
bahwa sebuah bola memantul bila dijatuhkan ke lantai, suatu gelas pecah bila
jatuh ke lantai, merupakan pengetahuan fisik. Sumber pengetahuan fisik terdapat
dalam benda itu sendiri, yaitu dalam cara enda itu memberikan pada subjek
kesempatan-kesempatan untuk pengamatan. Pengetahuan logiko matematik terdiri
atas hubungan-hubungan yang diciptakan subjek dan diintroduksikan pada
objek-objek. Contoh dari suatu hubungan ialah perbedaan antara gelas merah dan
gelas hijau. Hubungan “perbedaan” tidak terdapat pada gelas merah maupun pada
gelas hijau, demikian pula tidak dapat ditemukan di mana saja dalam kenyataan
eksternal. Perbedaan ini hanya terdapat dalam kepala orang yang menempatkan
kedua objek itu dalam hubungan ini, dan bila orang itu tidak dapat menciptakan
hubungan ini, perbedaan itu tidak ada padanya. Pengetahuan social, seperti pada
hari Minggu anak-anak tidak bersekolah, didasarkan pada pejanjian social, suatu
perjjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia.
Menurut Piaget, pengetahuan social
seperti nama hari dalam seminggu atau tanda atom unsure dalam ilmu kimia dapat
dipelajari secara langsung, yaitu dari pikiran guru pindah ke pikiran siswa.
Sedangkan pengetahuan fisik dan pengetahuan logiko-matematik tidak dapat secara
utuh dipindahkan dengan cara demikian. Dengan lain perkataan pengetahuan fisik
dan pengetahuan logika-matematik tidak dapat diteruskan dalam bentuk sudah
jadi. Setiap anak harus membangun sendiri pengetahuan itu.
Implikasi pandangan konstruktivis
pada pendidikan ialah bahwa dalam mengajar guru seharusnyamemperhatikan
pengetahuan yang diperoleh anak-anak dari luar sekolah itu, dan menunjang
proses alamiah itu. Ini berarti kita harus menerima mengajar bukan sebagai
proses dimana gagasan-gagasan guru diteruskan pada para siswa, melainkan
sebagai proses-proses untuk mengubah gagasan-gagasan anak yang sudah ada yang
mungkin “salah” itu. Bila guru tidak menyadari gagasan-gagasan yang dibawa anak
ke kelas, dan terus mengajar untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang
didasarkan atas latar belakang yang diasumsikan sendiri, maka tidak mengherankan
bahwa pandangan anak-anak kerap kali tidak dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman di kelas, ata dapat juga pandangan-pandangan itu berubah
secara tidak diharapkan. Hal ini sesuai dengan saran. Ausubel yang
mengemukakan, bahwa pengajaran yang tidak mengindahkan gagasan-gagasan yang di
bawa anak-anak, akan membuat miskonsepsi-miskonsepsi mereka lebih kompleks dan
stabil (Ausubel, 1978).
Dalam menghadapi situasi pendidikan seperti sekarang ini,
sudah sewajarnyalah kita bertanya-tanya “Apakah kita sebagai kaum pendidik
memperhatikan gagasan-gagasan anak ini? Saya kira belum, sebab pada umumnya
kita masih menganut, bahwa pengetahuan itu kita pindahkan dari pikiran kita
sebagai guru ke pikiran anak. Sepanjang engetahuan saya masih kurang sekali
penelitian yang dilakukan untuk menyelami gagasan-gagasan anak atau “sains
anak” ini. Mengapa? Sebab dalam melakukan penelitian kita masih banyak terpukau
oleh pengolahan data dengan menggunakan statistik dengan mengendalikan vaiabel
ini dan variable itu, sedangkan untuk mengetahui sains anak ini, kita harus
menerapkan penelitian pada keadaan bagaiman adanya, yang kita kenal dengan
penelitian kualitatif atau penelitian naturalistik. Mengingat begitu besar
peranan sains anak dalam pengajaran, seperti yang telah diuraikan di atas, saya
menyarankan agar kita mulai dengan penelitian-penelitian untuk menyelami
pikiran anak-anak kita terutama dalam menghadapi penyusunan kurikulum untuk
pendidikan dasar 9 tahun yang akan datang.
Walaupun dewasa ini bayak penelitian sedang dilakukan
mengenai gagasan-gagasan anak ini, dan mencari cara-cara mengajar untuk dapat
mengadakan perubahan konseptual pada anak-anak, untuk sementara baiklah kita
membenahi cara mengajar kita, ditinjau dari pandanag konstruuktivis ini.
Beberapa saran diberikan dibawah ini. Mungkin sudah ada sebagian guru
melaksanakan apa yang disarankan, tetapi sya percaya bahwa guru yang demikian
sangat sedikit jumlahnya. Dan sekaali lagi saya tekankan untuk dapat
melaksanakan cara mengajar seperti yang disarankan, perlu sekali kita
mengadakan seleksi konsep-konsep yang dimasukkan dalam kurikulum.
Untuk sekolah dasar
disarankan hal-hal berikut:
1) Siapkanlah
benda-benda nyata untuk digunakan para siswa.
ada dua alasan bagi prinsip ini.
Pengetahuan fisik diperoleh dengan berbuat terhadap benda-benda, dan melihat
bagaimana benda-benda itu bereaksi. Misalnya untuk mengetahui sebuah bola yang
dibuat dari tanah liat dapat terapung dalam air, anak itu harus berbuat sesuat
pada bola itu dan memperoleh jawaban dari bola itu. Sambil ia mengubah-ubah
perbuatan-perbuatannya, ia menghubungkan perubahan-perubahan dalam
perbuatan-perbuatannya dan perubahan-perubahan dalam reaksi benda itu. Bukan
hanya pengetahuan fisik yang dikembangkannya, melainkan juga pengetahuan
logika-matematik.
Alasan kedua para siswa harus bekerja
dengan benda-benda ialah, bahwa inilah satu-satunya cara mereka dapat
melogiko-matematikkan kenyataan. Bukan dengan cara belajar kata-kata para siswa
menjadi lebih baik berpikir mengenai alam nyata.
2) Dengan
memperhatikan empat cara di bawahh ini mengenai bebuat terhadap benda-benda,
pilihlah pendekatan ang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
a. Berbuat
terhadap benda-benda dan melihat bagaimana benda-benda itu bereaksi
b. Berbuat
terhadap benda-benda untuk menghasilkan suatu efek yang diinginkan
c. Menjadi
sadar bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan
d. Menjelaskan.
Bila digunakan dua pendekatan
pertama, para siswa dapat diminta untuk menjelaskan yang menyebabkan mereka
berpikir. Dalam pelajaran “Terapung,
melayang dan tenggelam, misalnya waktu guru menyuruh para siswa membuat
“kapal-kapal dari tanah liat”, guru menggunakan pendekatan kedua, bila guru
meminta para siswa membuat kapal tanah liat yang dapat terapung dalam air.
Kemudian bila guru menanyakan apa yang akan terjadi bila anak-anak menempatkan
benda-benda dalam kapal tanah liat itu, maka guru menggunakan pendekatan yang
pertama. Kedua pendekatan ini dan juga pendekatan yang ketiga mengandung
unsur-unsur penjelasan, dan pada umumnya lebih baik daripada mengajar menjelaskan,
yang bagaimanapun juga sulit bagi para siswa dalam periode-periode konkrit.
Pendekatan yang ketiga, yaitu
menjadi sadar bagaimana seseorang menghasilkan efek yang diinginkan, dapat
digunakan bila guru menganjurkan siswa untuk bertanya pada siswa yang lain bagaiman ia
menyelesaikan tugasnya. Ini merupakan suatu contoh situasi yang secara edukatf
baik bagi siswa yang mengjarkan sesuatu dan bagi siswa yang diajar sesuatu.
3) Perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik,
dan berilah para siswa kebebasan untuk menolak saran-saran guru
4) Mintalah
para siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mengemukakan
masalah-masalah pemecahannya.
Dewasa ini para pendidik kerap kali
menganjurkan “pemecahan masalah”, tetapi jarang kita dengar tentang pentingnya
penciptaan masalah dan pengajuan dan pertanyaan. Suatu bagian penting dalam
kontruktivisma ialah kontruksi pertanyaan-pertanyaan. Menurut Piaget, perumusan
pertanyaan merupakan salah satu bagian yang pentng dan paling kreatif dari
sains yang diabaikan dalam pendidikan sains.
5) Anjurkan
para siswa untuk saling berinteraksi.
6) Hindari
istilah-istilah teknis dan tekankan pikiran.
7) Anjurkan
para siswa berpikir dengan cara mereka sendiri.
Adakalanya siswa mengemukakan hal-hal yang salah. Walaupun
demikian hendaknya dianjurkan untuk berpikir dengan cara mereka sendiri.
Sebagian dari intuisi-intuisi mereka itu ada yang salah, sebagian ada yang
betul, dan gagasan-gagasan ini harus ditelusuri dan dikoordinasikan agar para
siswa menjadi pemikir-pemikir yang diharapkan. Untuk tingkat sekolah yang lebih
tinggi disarankan penggunaan siklus belajar (Herron,1988).
Salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model
kontruktivis aialah penggunaan siklus belajar yang terdiri atas tiga fasa,
yaitu fasa eksplorasi, fasa pengenalan konsep, dan fasa aplikasi konsep. Selama
fasa eksplorasi para siswa belajar melalui aksi dan reaksi mereka sendiri dalam
suatu situasi baru. (Misalnya para siswa bereksperimen dengan gas-gas yang
terdapat dalam tabung penyuntik untuk melihat bagaiman volum dapat diubah,
mengamati film yang mensimulasikan gerak partikel dalam gas dan beberapa hal
lain). Dalam fasa ini mereka kerap kali menyelidiki suatu fenomena dengan
bimbingan minimal. Fenomena baru itu seharusnya menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan atau ke komplek yang tidak dapat mereka pecahkan dengan
gagasan-gagasan mereka yang ada, atau dengan pola-pola penalaran yang biasa
mereka gunakan. Dengan lain perkataan fasa ini menyediakan kesempatan bagi para
siswa untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang bertentangan, dan dapat
menimbulkan perdebatan tentang mengapa mereka mempunyai gagasan-gagasan
demikian eksplorasi juga membawa para siswa pada penemuan suatu pola
keteraturan dalam fenomena yang diselidiki. Fasa kedua ialah pengenalan konsep,
yang biasanya dimulai dengan memperkenalkan suatu konsep-konsep yang ada
hubungannya dengan fenomena yang diselidiki, dan didiskusikan dalam konteks apa
yang telah diamati selama fasa ekplorasi. (Misalnya dalam fasa ini dapat
didiskusikan apa yang dimaksud dengan tekanan gas dan volum gas, atau energi
kinetik molekul-molekul gas). Sesudah pengenalan konsep, fasa aplikasi
menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang
telah diperkenalkan untuk menyelidiki sifat-sifat gas-gas lebih lanjut.
Bebarapa
cara atau metode penyampaian pembelajaran IPA di sekolah antara lain:
1)
Dengan memperhatikan empat cara dibawah ini mengenai berbuat terhadap
benda-benda, pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
a.
Berbuat terhadap
benda-benda dan melihat bagaimana benda-benda itu bereaksi.
b.
Berbuat terhadap
benda-benda untuk menghasilkan suatu efek yang diingnkan.
c.
Menjadi sadar
bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan.
d.
Menjelaskan.
Bila digunakan dua pendekatan pertama, para siswa dapat
diminta untuk menjelaskan yang menyebabkan mereka berpikir. Dalam pelajaran
terapung, tenggelam dan melayang, misalnya ketika guru menyuruh siswa untuk
membuat “kapal dari tanah liat” , guru menggunakan pendekatan kedua, bila guru
meminta para siswa untuk membuat kapal tanah liat yang terapung dalam air.
Kemudian bila guru bertanya apa yang akan terjadi bila anak-anak menempatkan
benda-benda dalam kapal tanah liat itu, maka guru menggunakan pendekatan yang
pertama. Kedua pendekatan ini dan juga pendekatan ketiga mengandung unsur-unsur
penjelasan, dan pada umumnya lebih baik dari pada mengajar menjelaskan, yang
bagaimanapun sulit bagi para siswa dalam periode-periode konkrit.
Pendekatan yang ketiga, yaitu menjadi sadar bagaiman
seseorang menghasilkan efek yang diinginkan, dapat digunakan bila guru
menganjurkan siswa untuk bertanya pada siswa yang lain bagaimana ia
menyelesaikan tugasnya. Ini merupakan suatu contoh situasi yang secara edukatif
baik bagi siswa yang mengajarkan sesuatu dan bagi siswa yang diajar sesuatu.
2)
Perkenalkan kegiatan
yang layak dan menarik, dan berilah para siswa kebebasan untuk menolak
saran-saran guru.
3)
Mintalah para siswa
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mengemukakan masalah-masalah serta
pemecahannya.
Dewasa ini pada pendidik kerap kali menganjurkan “pemecahan
masalah”, tetapi jarang kita dengar tentang pentingnya penciptaan masalah dan
pengajuan pertanyaan. Suatu bagian penting dalam kontruktivisma ialah kontuksi
pertanyaan-pertanyaan. Menurut Piaget, perumusan pertanyaan merupakan salah atu
bagian yang penting dan paling kreatif dari sains yang diabaikan dalam
pendidikan sains
4)
Anjurkan para siswa
untuk saling berinteraksi.
5)
Hindari
istilah-istilah teknis dan tekankan berpikir.
6)
Anjurkan para siswa
berpikir dengan cara mereka sendiri.
Adakalanya siswa mengemukakan hal-hal yang salah. Walaupun
demikian mereka hendaknya dianjurkan untuk berpikir dengan cara mereka sendiri.
Sebagian dari intuisi-intuisi mereka itu ada yang salah, sebagian ada yang
betul, dan gagasan-gagasan ini harus ditelusuri dan dikoordinasika agar para
siswa menjadi pemikir-pemikir yang diharapkan. Untuk tingkat sekolah yang lebih
tinggi disrankan penggunaan siklus belajar.
Salah satu strategi belajar untuk menerapkan model
kontruktivis ialah penggunaan siklus belajar yang terdiri dari tiga fasa, yaitu
fasa eksplorasi, fasa pengenalan konsep, dan fasa aplikasi konsep. Selama fasa
eksplorasi par siswa belajar melalui aksi dan reaksi mereka sendiri dalam suatu
situasi baru.(Misalnya par siswa bereksperimen dengan gas-gas yang terdapat
dalam tabung penyuntik untuk melihat bagaimana volum dapat diubah, mengamati
film yang mensimulasikan gerak partikel dalam gas dan beberapa hal lain). Dalam
fasa ini mereka kerap kali menyelidiki suatu fenomena dengan bimbingan minimal.
Fenomena baru itu harusnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan atau kekomplek
yang tidak dapat mereka pecahakan dengan gagasan-gagasan mereka yang ada, atau
dengan pola-pola penalaran yang biasa mereka gunakan. Dengan kata lain
perkataan fasa ini menyedikan kesempatan bagi para siswa untuk mengemukakan
gagasan-gagasan yang berlawanan, dan dapat menimbulkan perdebatan tentang mengapa mereka mempunyai gagasan-gagasan
demikian. Eksplorasi juga membawa para siswa pada penemuan suatu pola
keteraturan dalam fenomena yang diselidiki, dan didiskusikan dalam konteks apa
yang telah diamati selama fasa eksplorasi. ( Misalkan dalam fasa ini dapat
didiskusikan apa yang dimaksud dengan tekanan gas dan volum gas, atau energi
kinetik molekul-molekul gas). Sesudah pengenalan konsep, fasa aplikasi
menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang
telah diperkenalkan untuk menyelidiki sifat-sifat gas lebih lanjut.
4.
Kontruktivisme
dan peta konsep
Gagasan
para penganut konstruktivis merupakan dasar teoritis bagi perbedaan antara
belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar hafalan (rote learning)
menurut Ausubel. Dalam belajar bermakna
pengetahuan baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan yang sudah ada
dalam struktur kognitif. Bila dalam suatu struktur kognitif tidak terdaoat
konsep-konep yang relevan, pengetahuan baru dipelajari secara hafalan. Jadi,
menurut Ausubel penting bagi guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui
para siswa sebelum ia memulai suatu pelajaran. Tetapi Ausubel belum menyediakan
suatu alat atau cara bagi guru yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang
telah diketahui siswa. Novak (1985) dalam bukunya Learning how to learn
mengemukakan bahwa hal itu dapat dilakuakan dengan pertolongan peta konsep.
Peta
konsep memperlihatkan bagaimana konsep-konsep saling terkait. Untuk menyusun
peta konsep dibutuhkan konsep-konsep atau kejadian-kejadian dan kata atau
kata-kata penghunbung yang akan mengaitkan konsep-konsep menjadi proposisi yang
bermakna. Proposisi-proposisi inilah yang disimpan dalam struktur kognitif.
Sebagai suatu contoh proposisi : Air dibutuhkan mahluk hidup, dimana air dan
mahluk hidup merupakan konsep, edangkan dibutuhkan merupakan kata
penghubung. Dengan memiliki berbagai
proposisi yang menyangkut konsep air. Misalnya air dapat berubah tingkat wujud,
dan air terdiri atas molekul-molekul, maka meningkatlah makna dan ketelitian
makna bagi konsep air itu pada diri siswa.
Menurut novak
pembuatan peta konsep merupakan suatu tehnik untuk meningkatkan konsep-konsep
dan proposisi-proposisi. Pengungkapan ini dapat digunakan guru untuk mengetahui
apa yang telah diketahui para siswa sebelum ia mulai mengajarkan pokok bahasan
baru. Denga demikian guru dapat mengajar dengan bertitik tolak dari apa yang
telah diketahui siswa mengenai topik yang akan diajarkannya. Inilah yang
menjadi dasar pemukiran para kontruktivis,dan ini pula yang menjadi dasar
belajar bermakna yang diungkapkan Ausubel, dan yang kita harapkan terjadi pada
anak-anak kita.
Sekarang
mari kita perhatikan kegunaan peta konsep bagi para siswa. Cara yang paling
baik untuk menolong para siswa belajar bermakana ialah dengan menolong mereka
secara eksplisit melihat sifat dan peranan konsep-konsep dan hubungan antara
konsep-konsep sebagaimana itu terdapat di dalam pikiran mereka dan sebagaimana
itu terdapat diluar mereka : dalam buku-buku pelajaran dan pelajaran yang
diberikan guru.. hal ini kelihatannya ederhana, tetapi sulit untuk menyadarkan
para siswa apa yang mereka lihat, dengar, rasa, dan cium sebagian tergantung
pada konsep-konsep atau gagsan-gagasan yang mereka miliki dalam pikiran mereka.
Lagi pula bukan hanya disekolah mereka berlaku demikian, melainkan juga dirumah
diwaktu mereka belajar. Dirumah bukan guru yang mereka hadapi ,melainkan
buku-buku pelajaran. Karena apa yang tersimpan dalam struktur kognitif ialah
proposisi-prososisi, bukan kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat yang
tertulis dalam buku, maka untuk dapat memahami buku pelajaran, para siswa harus
berusaha mengeluarkan konsep-konsep dari dalam buku yang mereka pelajari,
kemudian mnempatkan konsep yang paling inklusif di bagian atas pada peta
konsep. Lalu mreka mencoba menghubung-hubungkan konsep-konsep iti secara
hirarki dengan menggunakan kata penghubung sehingga terbentuk
proposisi-proposisi yang bermakna. Inilah cara pembuatan peta konsep yang
mencerminkan bagaimana siswa membangun pengetahuannya. Membangun peta konsep
secara hirarki membutuhkan berpikir secara aktif, secara aktif menghubungkan
pengetahuan baru kedalam kerangka konseptual yang sudah ada. Sambil mempelajari
materi tertentu siswa dapat melihat hubungan- hubungan baru antara topik-topik
yang sebelumnya mungkin kelihatan tidak berhubungan . Siswa yang kreatif akan
melakukan berbagai cara untuk menyajikan hubungan-hubungan, konsep-konsep dan hirarki-hirarki.
Diantar
beberapa orang anak yang telah menggunakan pete konsep dalam belajar yang saya
amati. Ada yang mengatakan bahwa car ini benar-benar membuat mereka berpikir ;
ada pula yang mengemukakan bahwa dengan membuat
peta konsep mereka melihat hubungan-hubungan yang selama ini tidak
mereka lihat ; ada pula yang berkata dengan membuat peta konsep mereka menjadi
lebih siap dalam menghadapi ulangan atau ujian.
Sekarang
yang menjadi masalah, berapa orang siswa yang mau membuat peta konsep, tanpa
dianjurkan oleh para guru. Apakah suasana belajar dikelas menghendaki para
siswa untuk menuaikan konsep-konsep baru yang diajaran guru dengan konsep-konse
yang telah mereka miliki agar belajar bermakna terjadi ? Seberapa jauh guru
mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki para siswa sebelum ia memulai
pelajarannya? Dan juga apakah penggunaan buku-buku yang hanya berisi rangkuman
yang paling laku meminta para siswa berpikir, meminta para siswa membangun
pengetahuan mereka? Semua pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya menjadi pemikiran
kita dalam merencanakan kurikulum untuk pendidikan dasar 9 tahun.
5.
Sains,
teknologi dan masyarakat
Setelah
membaca 1985 Year book of The National Science Teachers Assosiation mengenai
pendidikan sains yang harus dihubungkan dengan teknologi dan masyarakat
(Sciense Technology Sociaty disingkat STS) di Amerika Serikat, saya berpendapat
bahwa untuk pendidikan dasar 9 tahun kita belum perlu memikirkan kurikulum
sejauh itu. Mungkin untuk tingkat yang lebih tinggi hala itu dapat kita perhatikan
titik. Saya berpendapat bahwa unfying cosepts dalam STS itu merupakan
konsep-konsep yang berikan pada anak-anak kita yang berusia 7-15 tahun, dengan
pengetahuan sainsnya yang sangat terbatas.
6.
Rekomendasi
Setelah
memberikan uraian diatas,saya menyarankan hal-hal berikut bagi pengembangan
kurikulum dasar 9 tahun.
1)
Selama ini kurikulum
kita dikatakan sebagai kurikulum yang overloaded. Hal ini terbukti dari
kegiatan guru yang mengajar terutama dengan metoda ceramah tanpa menghiraukan
CBSA, pendekatan keterampilan proses, apalagi memperhatikan gagasan-gagasan apa
yang telah dimiliki para siswa. Oleh karena itu kita harus melakukan seleksi
konsep-konsep lain dengan cermat sekali. Tidak perlu semua konsep dianggap
penting, dan jangan pula kita masukkan begitu banyak kepentingan bidang-bidang
lain kedalam kurikulum sains. Bagaimanapun juga kemampuan anak untuk
mencernakan informasi terbatas. Lagi pula dengan demikian para guru dapat kita
minta untuk dapat melaksanakan proses belajar mengajar sebagaimana mestinya.
2)
Pendidikan sains di
pendidikan dasar hendaknya ditekankan pada pengembangan kemampuan berpikir. Apa
yang selama ini kita capai dalam pendidikan yang kita berikan pada anak-anak
kita ialah mereka malas berpikir. Hal ini tercermin mulai dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Padahal penerapan CBSA, pendekatan keterampilan proses, bila
dilaksanakan dengan baik, sudah melatih para siswa untuk berpikir. Apalagi
kalau kita terapkan gagasan para konstruktivis bahwa anak itu harus aktif
membangun pengetahuannya.
3)
Buku-buku pelajaran
yang digunakan untuk menanamkan konsep hendaknya jangan yang berupa rangkuman.
Anak-anak kita sedini mungkin kita biasakan membaca buku, dan dapat
mengeluarkan konsep-konsep yang penting, kemudian mengkaitkannya dengan konsep
yang telah mereka miliki. Peta konsep dapat mereka gunakan untuk menolong
belajar bagaimana belajar.
B. UPAYA-UPAYA
ATAU ALTERNATIF PEMECAHAN PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH
Upaya-upaya
Depdikbud untuk merealisasikan tujuan pendidikan IPA dalam bentuk pengadaan alat,
buku, dan berbagai macam penataran tersebut di atas tampaknya belum efektif.
Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang mendukung bahwa upaya-upaya itu
belum efektif.
Studi Kebijakan
Dikmenum yang dilakukan untuk melakukan evaluasi tentang efektivitas pengadaan
alat IPA dalam menunjang tujuan pendidikan IPA di sekolah menyimpulkan bahwa
pengadaan alat IPA itu belum efektif. Studi menemukan bahwa frekuensi
penggunaan alat IPA, kemampuan guru dan siswa dalam menggunakan alat IPA, dan
kemampuan guru dan siswa dalam dalam keterampilan proses rendah (Nur, dkk., h.
52, 1994a).
TABEL 1
FREKUENSI PENGGUNAAN
ALAT IPA DI SMP
SELAMA TAHUN AJARAN
1993/1994 S.D. SEPTEMBER 1994
UNTUK KEGIATAN
PRAKTIKUM
Menurut Siswa
|
Menurut Guru
|
||
Alat (%)
|
F
|
Alat (%)
|
f
|
6,0
65,3
24,5
4,1
|
0
0,1 – 0,5
0,6 – 1,5
1,6 – 2,5
|
18,4
20,4
36,8
24,4
|
0
0,1 – 0,5
0,6 – 1,5
>1,5
|
Di
SMP menurut siswa selama tahun ajaran 1993/1994 ada 95,8% alat yang
penggunaannya hanya1,5 kali atau lebih kecil, sedangkan menurut guru di SMP ada
75,6% alat yang penggunaannya hanya 1,5 kali atau lebih kecil (Tabel 1). Di SMA
menurut siswa maupun guru selama tahun ajaran 1993/1994 ada 67,6% alat yang
penggunaannya hanya 1,5 kali atau lebih kecil (Tabel 2). Bahkan di SMP menurut
guru da 18,4% alat yang tidak pernah digunakan dalam praktikum, sedangkan di
SMA menurut guru, alat yang tidak pernah digunakan dalam praktikum ada 16,2%.
TABEL 2
FREKUENSI PENGGUNAAN
ALAT IPA DI SMA
SELAMA TAHUN AJARAN
1993/1994 S.D. SEPTEMBER 1994
UNTUK KEGIATAN
PRAKTIKUM
Menurut Siswa
|
Menurut Guru
|
||
Alat (%)
|
F
|
Alat (%)
|
f
|
2,7
37,9
27,0
32,4
|
0
0,1 – 0,5
0,6 – 1,5
>1,5
|
16,2
24,3
27,1
32,4
|
0
0,1 – 0,5
0,6 – 1,5
>1,5
|
TABEL 3
KEMAMPUAN SISWA DAN
GURU
DALAM MENGGUNAKAN ALAT
IPA
NAMA ALAT
|
SISWA (%)
|
GURU (%)
|
||
SMP
|
SMA
|
SMP
|
SMA
|
|
1.
Gelas Ukur
2.
Termometer
3.
Neraca Pegas
4.
Neraca Ohauss
5.
Multimeter untuk
mengukur
a.
Tahanan (R)
b.
Tegangan (E)
c.
Arus (I)
6.
Mikroskop
7.
Buret untuk titrasi
|
41,7
26,7
31,7
2,7
6,0
8,0
2,0
17,5
-
|
43,4
33,3
50,7
16,7
33,3
47,5
15,0
0,8
20,8
|
55,4
58,3
61,9
22,2
22,9
22,9
35,4
19,0
-
|
40,9
57,6
45,5
26,2
58,4
75,0
62,5
62,5
17,9
|
Studi
kebijakan itu juga menemukan cukup banyak guru yang belum dapat menggunakan
alat IPA secara benar. Penggunaan alat IPA sederhana seperti gelas ukur dan
termometer ternyata kurang dari 60% guru SMP maupun SMA yang dapat
menggunakannya. Kemampuan guru dalam menggunakan alat IPA ang kurang ini
berakibat kepada kemampuan siswa. Hanya sebagian kecil siswa saja yang dapat
menggunakan alat IPA itu dengan benar. Siswa SMP dan SMA yang dapat menggunakan
multimeter untuk mengukur arus masing-masing 2% dan 15%, neraca Ohauss hanya
2,7% siswa SMP yang dapat menggunakannya, sedangkan siswa SMA yang dapat
menggunakan 16,7% (Tabel 3).
Frekuensi penggunaan alat
IPA yang rendah
menjelaskan
mengapa
kemampuan guru
dan siswa dalam menggunakan alat
IPA rendah. Dan perlu dicatat bahwa apabila guru yang
tidak sepenuhnya menguasai alat IPA ini
mengajarkan alat itu kepada
siswanya,
maka
kemungkinan besar guru ini secara tidak sadar telah mengajarkan hal yang salah dalam mengoperasikan alat IPA tersebut
atau mengajarkan penggunaan alat IPA
itu secara tidak lengkap.
Kondisi sarana penunjang yang kurang memadai menjadi salah satu sebab mengapa frekuensi penggunaan alat IPA secara nasional
begitu rendah. Sebanyak 65% guru menyatakan luas/jurnlah ruang lab IPA kurang atau sang at
kurang dan 78% guru menyatakanjumlah alat
IPA kurang atau sangat kurang. Saat ini sekolah memilikijenis alat
IPAyang demikian banyak, namunjumlah
untuk tiap jenis
alat itu pada umumnya amat
terbatas.
Jurnlah alat dan ruang lab yang kurang
boleh jadi
merupakan penjelasan mengapa
frekuensi penggunaan alat untuk praktikum
rendah. Amat disayangkan mengapa frekuensi penggunaan alat IPA untuk
kegiatan demonstrasijuga rendah,
di SMP siswa dan guru masing-masing menyatakan ada 97,8% dan
87%
alat selama tahun
ajaran
199311994 hanya digunakan sekitar 1 kali untuk
demonstrasi sedangkan di SMA siswa dan guru masing masing menyatakan ada 89, 1% dan 71,6% alat
yang hanya digunakan sekitar
1 kali untuk demonstrasi. Demonstrasi cukup
dilakukan di kelas dan seharusnya tetap dapat dilakukan
meskipun jumlah alat yang hanya digunakan
sekitar 1 kali untuk demonstrasi, ruang lab, dan tenaga laboran kurang. Lebih lebih mayoritas guru (79%) menyatakan bahwa alat IPA di lab mereka
sesuai dengan kurikulum. Ini berarti alat
yang sesuai itu jarang
ditunjukkan
kepada
siswa.
Guru IPA
kurang peduli atau kurang
ada kemauan untuk menggu nakan alat IPA yang ada di sekolah, meskipun sebatas kegiatan
demonstrasi
di depan kelas. Guru belum mengamalkan dalam tindakan
nyata bahwa proses belajar mengajar di laboratorium merupakan bagian
inti dari pendidikan IPA.
TABEL'4
PROPORSI JAWABAN BENAR
TES KETERAMPILAN PROSES KEPADA SISWA KELAS
3 DAN
GURU
IPA
SMPN
DAN
SMAN
NO KOMPONEN KETERAM-
Pll..AN PROSES
|
SIS
SMPN
|
W A
SMAN
|
GU
SMPN
|
RU
SMAN
|
|
1
|
Mengamati
|
0,28
|
0,48
|
0,38
|
0,50
|
2
|
Mengklasifikasi
|
0,26
|
0,51
|
0,32
|
0,33
|
3
|
Mcngidentifikasi variabel
|
0,10
|
0,40
|
0,32
|
0,63
|
Rnanipulasi
|
|||||
4
|
Mengidcntifikasi variabel
|
0,12
|
0,43
|
0,26
|
0,59
|
Respon
|
|||||
5
|
Mengidentifikasi variabel
|
0,00
|
0,03
|
0,03
|
0,07
|
Control
|
|||||
6
|
Menyusun label data
|
0,41
|
0,64
|
0,58
|
0,56
|
7
|
Mclukis grafik garis
|
0,16
|
0,19
|
0,10
|
0,32
|
8
|
Mendiskripsikan grafik .linier
|
0,33
|
0,86
|
0,72
|
0,73
|
9
|
' Mendiskripsikan graftk
|
0,18
|
0,48
|
0,42
|
0,32
|
kurva linier
|
|||||
10
|
Memprediksi (Interpolasi)
|
0,08
|
0,24
|
0,12
|
0,32
|
II
|
Memprediksi (Ekstrapolasi)
|
0,04
|
0,14
|
0,02
|
0,04
|
12
|
Menginferensi
|
0,31
|
0,38
|
0,20
|
0,17
|
13
|
Merumuskan hipotesis
|
0,56
|
0,89
|
0,92
|
0,80
|
(Induktif)
|
|||||
14
|
Merumuskan hipotesis
|
0,13
|
0,13
|
0,12
|
0,11
|
(Deduktif)
|
|||||
15
|
Mcrevisi hipotesis
|
0,10
|
0,27
|
0,26
|
0,34
|
16
|
Menganalisis eksperimen
|
0,00
|
0,07
|
0,06
|
0,15
|
17
|
Menyusun rancangan
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
0,03
|
Eksperimen
|
|||||
Rata-rata
|
0,18
|
0,36
|
0,28
|
0,35
|
Sumber: Nur; dkk., 1994a
Studi kebijakan Dikmenum itu
juga menemukan bahwa keterampilan proses siswa maupun guru rendah, baik siswa maupun guru belum menguasai komponen-komponen atau langkah-Iangkah dalam melakukan penelitian atau eksperimen IPA Guru maupun
siswa hanya rnenguasai keterampilan meneliti
itu secara sepotong-sepotong,
tidak utuh. Keterampilan
proses dasar seperti
mengamati, menyusun tabel, dan mendiskribsikan
grafik linier relatif'banyak
guru dan siswa yang dapat melakukannya, tetapi keterampilan
proses terpadu seperti mengidentifikasi variabel
kontrol, menganalisis eksperimen, dan menyusun rancangan eksperimen terasa asing bagi hampir seluruh .siswa
maupun guru (TabeI4).
Patut dicatat bahwa mayoritas guru (82,]
%) menyatakan bahwa
kualitas guru yang menangani alat IPA cukup baik, meskipun faktanya menunjukkan banyak
guru
yang
belum
dapat
menggunakan alat IPA dan belum dapat melakukan eksperimen dengan benar.
Jadi Guru-guru ini tidak
menyadari bahwa kualifikasinya sesungguhnya belum baik. Kemungkinan guru ini merasa
telah
memiliki kualifikasi yang baik karena
ijazah
dan penataran yang telah diikuti, 96% berijazah S IID3 (guru
SMA) denganjurusan yang sesuai (89%) dan mayoritas guru-guru ini telah mengikuti penataran PKG atau LKG.
Merencanakan eksperimen untuk
menjawab suatu masalah
atau menguji suatu hipotesis dan kemudian melaksanakan eksperimen itu menurut prosedur yang benar belum dilatihkan secara sadar, sistematik, dan menyeluruh kepada siswa.
Secara garis besar tidak tampak peningkatan yang berarti antara siswa SMP dan SMA dalam
keterampilan melakukan eksperimen. Hal ini berarti bahwa lama studi sebanyak tiga tahun itu tidak memberikan sumbangan yang berarti terhadap peningkatan kemampuan
meneliti siswa. Keterampilari
meneliti siswa masih terbatas pada penguasaan keterampilan proses dasar yang sepotong-sepotong dan tidak pernah berkembang
menjadi keterampilan proses terpadu yang
memungkinkan siswa melakukan eksperimen dalam
arti yang sebenarnya.
Apabila siswa dan bahkan guru belum
mengusai langkah-langkah melakukan eksperimen dengan benar, hal ini
berarti bahwa apa yang terkadang disebut eksperimen dan
terkadang disebut percobaan
di SMP atau
SMA
itu
selama ini
hanya dilakukan dalam frekuensi yang' terbatas, dan frekuensi eksperimen atau percobaan yang terbatas itu kemungkinan besar bukan eksperimen, melainkan sekedar pengamatan, atau kalau
benar-benar dimaksudkan sebagai eksperimen maka
eksperimen itu kemungkinan besar dilakukan dengan prosedur
yang tidak benar.
Apabila praktikum itu dapat dibedakan atas praktikum keterampilan yang menekankan pada latihan penggunaan alat, praktikum konsep
yang menekankan pada
penanaman konsep atau penanggulangan rniskonsepsi,
dan
parktikum proses yang menekankan kepada latihan ketrampilan
proses
(Ed
van den
Berg, 1994, h. 3),
maka praktikum
yang selama ini dilakukan di sekolah iti(l;>'arltterbatas
pada praktikum keterampilan atau paling jauh baru
praktikum konsep, belum praktikum proses.
IPA pada garis
besarnya terdiri dari tiga komponen,
yaitu sikap ilmiah,
proses ilmiah, dan produk ilmiah. Jadi, proses atau metode ilmiah
itu merupakan bagian bidang studi IPA, dengan kata lain termasuk
materi yang harus dipelajari siswa. Secara terus menerus,
sampai sekarang ini, di SMP
dan SMA sedang terjadi pengajaran IPA yang terbatas pada produk
atau
fakta, konsep, dan teori saja. Dengan kata lain, di SMP dan SMA secara terus menerus sedang terjadi
pengajaran IPAyang tidak lengkap, karena
baru mengajarkan salah satu komponennya saja.
Pengkajian yang dilakukan terhadap bahan tercetak
penunjang seperti LKS yang banyak beredar di pasaran atau
buletin yang diterbitkan oleh Dikmenum menemukan bahwa bahan tersebut
pada umumnya berisi
kegiatan yang berorientasi pada penguasaan konsep IPA dan sebagian
komponen keterampilan proses dasar, seperti pengamatan, klasifikasi, komunikasi atau praktikum keterampilan. Langkanya bahan tercetak penunjang pelaksanaan eksperimen untuk menjawab suatu masalah atau menguji suatu hipotesis
menjadi salah satu sebab mengapa
praktikum proses belum terlaksana, mengapa terjadi
pengajaran IPA yang tidak lengkap,
dan mengapa siswa dan guru hampir seluruhnya salah dalam mengerjakan tugas merencanakan eksperimen.
Keterampilan
proses atau
keterampilan meneliti yang rendah baik
siswa maupunguru SMP
dan SMA ini konsisten dengan
data tentang frekuensi penggunaan alat IPA untuk kegiatan penelitian. Menurut siswa dan guru
SMP masing-masing ada 98% dan 91,8%
alat yang tidak pernah digunakan
(45% dan 70,5%) atau
sangat jarang digunakan
(53% dan
21,3%) untuk kegiatan penelitian.Menurut siswa dan guru
SMA masing-masing ada 94,1 % dan 96% alat
yang tidak pernah
digunakan (45,5% dan 39,2%) atau
sangat jarang digunakan (48,6% dan
56,8%) untuk
kegiatan penelitian.
Apabila keterampilan meneliti itu secara sadar
dan sistematik
dikembangkan sejak SD,
S:MP, kemudian SMA,
seharusnya keterampilan meneliti itu
akan
berkembang dari
tingkat sekolah yang satu ke tingkat
berikutnya yang lebih
tinggi. Seharusnya alat IPA yang disediakan itu akan
meningkat penggunaannya dalam
kegiatan penelitian dengan
semakin tingginya jenjang
sekolah. Hal ini
ternyata tidak terjadi. Upaya
untuk mengembangkan kemampuan
meneliti sedini mungkin yang dituangkan sejak
Kurikulum 1975 SD,
SMP, dan SMA, dilanjutkan kemudian dengan Kurikulum 1984, dan sekarang Kurikulum
1994
belum membuahkan hasil yang nyata.
Budaya
meneliti
belum berhasil ditumbuhkan di sekolah.
Hasil studi kebijakan di at as
memberikan gambaran secara rinci bagaiamana kondisi
saat
ini pendidikan IPA di S:MP dan SMA.
Kesenjangan
yang ada antara yang
digariskan pada
kurikulum dan kenyataan
yang terjadi di lapangan begitu jauh. Mempelajari tujuan
pengajaran IPA baik pada Kurikulum SD 1975
dan 1984
serta pada
Kurikulum SMP 1975 dan
1984 terlihat bahwa
upaya untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam
menggunakan metode ilmiah
itu sesungguhnya telah digariskan untuk dilakukan sedini mungkin sejak mereka berada di
sekolah dasar
Dengan demikian upaya ini sesungguhnya telah dilakukan sekitar dua dekade, namun sampai
saat ini hasil yang dicapai
masih belum memadai, masih jauh dari apa
yang diharapkan.
Berdasarkan
hasil studi kebijakan di atas dapat disimpulan bahwa pendidikan IPA di SMP dan SMA paling tidak memerlukan dua hal seperti berikut ini.
1. Paket belajar
yang terpadu dengan alat IPA yang ada atau
yang akan
diadakan untuk digunakan sebagai panduan
dalam menggunakan alat IPA tersebut dalam praktikum keterampilan, praktikum
konsep, dan
praktikum proses.
2. Penataran
guru tentang keterampilan proses, pendekatan
keterampilan
proses, dan mengelola kegiatan belajar
mengajar
dengan
pendekatan
keterampilan proses,
khususnya latihan mengoperasionalkan di kelas paket belajar yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Singkatnya pengelolaan proses belajar mengajar tidak lagi
didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan dari pikiran guru
kepada siswa, melainkan berdasarkan pada pandangan belajar konstruktivime,
yaitu siswa harus menemukan sendiri atau membangun pengetahuan itu sendiri
melalui proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasisi (Ratna Wilis Dahar,
1994). Konstruktivisme mengacu pada teori perkembangan kognitif yang
mengutamakan peranan aktif siswa dalam membangun pemahamannya atas realita yang
dihadapinya (Slavin, 1994, h. 48).
Tujuan dan kegiatan belajar mengajar IPA yang sedang
dikembangkan ini sejauh mungkin pengupayakan keterpaduan antara endidikan IPA
dan pendidikan teknologi serta dkaitkan dengan perkembangan individu dan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang digariskan pada kurikulum dan sesuai
dengan kecenderungan baru dalam pendidikan IPA seperti tercermin di dalam
kutipan berikut ini.
“Project 2000+
is that science educatiom as a school discipline must have educational aims
that relate to the society and to the individual. These aims should bring
science education and technology education together, so much o that it is more
appropriate to express these aims for both science and technology education
together.” (Holbrook, 1992, h. 4)
Tabel 5 menunjukkan proporsi jawaban benar ujiawal dan
ujiakhir paket belajar yang diujicobakan pada oenelitian tersebut. Lima paket
pertama adalah paket yang memiliki tujuan hasil belajar produk dan proses. Lima
paket inisecara keeluruhan dimaksudkan untuk melatih siswa melakukan eksperimen
dan menuliskan hasil eksperimen itu daam suatu laporan ilmiah. Dengan lima
paket itu siswa dilath untuk memadukan komponen-komponen keterampilan proes
yang telah dilatihkan secra terpisah melalui paket 1 s.d. 11. Lima paket selebihnya adalah paket
yang diujicobakan dangan KBM-nya ditangani guru setelah guru itu dilatih.
Sesuai dengan arahan kurikulum, Paket 12 ini dirancang untuk
menghubungkan IPA (bahan semikonduktor,
tetapan waktu RC) dengan teknologi (penyearah setengah gelombang) dan memupuk
minat siswa terhadap iptek. Lebih dari itu IPA adalah ilmu yang lebih banyak membutuhkan
kemampuan logika dan matematika. Kemampuan ini merupakan fungsi belahan otak
sebelah kiri. Sementara itu penyearah setengah gelombang masuk dalam cakupan
bidang elektronika. Menurut Malvino (1989. h. 15) “Electronics is both an art (right brain) and science (left brain)”. Fungsi belahan
otak sebelah kanan antara lain adalah intuisi, artistik, dan emosi. Dengan
demikian secara teoritis menghubungkan IPA dengan teknologi itu memiliki
landasan teori yang kuat, yaitu melibatkan dua belahan otak dalam belajar untuk
mencapai jenis belajar unggul yang dikenal dengan whole-brain learning (Malvino, 1989, h. 15).
Hasil ujiawal Paket 13 menunjukkan bahwa siswa belum dapat
memadukan komponen-komponen yang dipelajari secara terpisah menjadi satu
kesatuan yang komprehensif. Belum diperoleh hasil ujiakhir untuk Paket 13 ini,
karena menunggu siswa menyelesaikan karya ilmiahnya masing-masing. Proporsi
jawaban benar ujiakhir yang semakin meningkat dari Paket 14, 15, 16 merupakan
petunjuk bahwa dengan latihan yang berulang-ulang kemampuan siswa dalam melakukan
eksperimen berkembang semakin baik.
Skor yang rendah pada ujiawal lima paket itu merupakan
petunjuk bahwa sebagian besar siswa lupa dengan keterampilan proses atau
keterampilan menggunakan alat IPA yang pernah dilatihkan sebelumnya. Hal ini
berarti bahwa mempelajari komponen-koponen keterampian proses itu memerlukan
pengulangan agar benar-benar menguasainya. Skor yang rendah pada ujiawal itu
juga menunjukkan bahwa siswa belum menguasai produk yang diteskan pada ujiawal.
TABEL 5
PROPORSI JAWABAN BENAR
UJIAWAL DAN UJIAKHIR PAKET BELAJAR PADA PENELITIAN TAHUN KEDUA
Paket
Belajar
|
Ujiawal
|
ujiakhir
|
Paket
baru (produk dan proses terpadu)
1.
Paket 12 (penyearah
setengah gelombang)
2.
Paket 13 (penulisan
karya tulis ilmiah)
3.
Paket 14 (pengaruh
ukuran panjang terhadap besar tahan listrik kawat nikelin)
4.
Paket 15 (pengaruh
konsentrasi sukrosa terhadap cairan didalam sel)
5.
Paket 16 (penentuan
kandungan zat)
Paket
tahun kesatu (KBM dikelola guru )
1.
Paket 1 (Pengamatan)
2.
Paket 3
(Klasifikasi)
3.
Paket 4a
(Identifikasi variabel)
4.
Paket 4b
(Komunikasi)
5.
Paket 7
(Pengontrolan variable)
|
0,30
0,19
0,10
0,38
0,07
0,36
0,46
0,65
0,37
0,08
|
0,85
-
0,70
0,83
0,96
0,67
0,58
0,88
0,91
0,61
|
Sumber : Nur dkk,.1994
Perbedaan yang besar antara proporsi
jawaban benar ujiawal dan ujiakhir menunjukan bahwa sepuluh paket bitu
berfungsi efektif sebagai skenario PBM dengan PKP. Khusus lima paket terakhir,
perbedaan yang besar itu menunjukan bahwa paket belajar itu tetap efektif yang
meskipun menangani KBM adalah guru, sudah barang tentu setelah guru itu
dilatih.
Selama proses belajar mengajar
berlangsung dilakukan pengamatan kagar CBSA dengan menggunakan Lembar Observasi
Kadar CBSA. Hasil pengamatan terhadap KBM yang ditangani guru dapat dilihat
pada tabel 6. Tabel ini menunjukan bahwa menurut pengamat sebnayak 67,58% waktu
belajar ditandai dengan kegiatan menonjol siswa, seperti bertanya, berdiskusi
dan bekerja, sedankan aktivitas guru yang menonjol tercatat sebanyak 31,62%.
Sebagian besar waktu itu digunakan untuk memberi petunjuk (17,23%), sedangkan
porsi memberi ceramah amat kecil (6,20%). Data ini menunjukan bahwa guru dengan
menggunakan paket belajar sebgai skenario KBM telah berhasil meningkatkan kadar
CBSA dikelasnya.
Suasana kelas pada umumnya diamati
dengan Lembar Observasi Suasana Kelas. Hasil pengamatan itu ditunju8kan pada
tabel 7. Sebagian besar skor suasana kelas ditiga sekolah sampel itu terletak
antara 4 s.d 5 dan sebagian kecil saja terletak pda 2 s.d. 3. Di SMAN 9 yang
bertindak sebagai guru adalah peneliti, sedangkan di SMAN 1 dan SMAN 16 yang
bertindak sebagai guru adalah guru sekolah itu sendiri. Dengan skor se[erti itu
dapat dinterpretasikan bahwa selama KBM berlangsung siswa mengikuti secara
antusias, ceria, aktif dalam mencoba alat, aktif mengerjakan tugas dan aktif
dalam diskusi kelompok, baik pada saat
KBM itu ditangani peneliti atau guru mereka sendiri.
Haasil ini konsisten dengan tabel 6
dan dengan pengakuan siswa pada Tabel 8 yang diperoleh melalui Angket Pendapat
Siswa tentang KBM , yaitu 82,62% siswa
senang mengikuti KBM . hal-hal yang membuat mereka senang adalah LKS, peralatan
dan bahan belajar, suasana kelas dan penampilan guru. Mayoritas siswa
menyatakan berminat untuk mengikuti paket KBM selanjutnya. Cukup banyak siswa
yang menyatakan bahwa materi yang dipelajari baru (67,92%) dan 54, 48%
menyatakan bahwa tes yang dihadapi baru.
Kemampuan guru dalam mengelola KBM
diamatin dengan Lembar Observasi Kemampuan Guru dalam Mengelola KBM IPA dengan
PKP. Hasil penilaian ini ditunjukan pada tabel 9. Apabila dilihat
kecenderungannya, maka pada paket I terendah kemudian semakin tinggi pada paket
IV tertinggi. Hal ini berarti bahwa pada pertama kali mengelola KBM dengan
menggunakan paket belajar penampilan guru belum baik, namun pada penampilan
berikutnya menjadi semakin baik, dan pada Paket IV dapat dikatakan sudah baik.
TABEL 6
KADAR CBSA
DALAM KEGIATAN BELAJAR
MENGAJAR
PAKET 1, 3G, 3, 4A,
4B, 7
Aktivitas
|
Persentase
|
Guru
1.
Memotivasi
2.
Bertanya
3.
Berceramah
4.
Memberi petunjuk
5.
Mengamati siswa
Siswa
1.
Bertanya (inisiatif
sendiri)
2.
Bertanya (merespon)
3.
Berdiskusi
4.
Bekerja
5.
Off-task behavior*)
Alat/Bahan/Media:
1.
Gangguan/rusak/tidak
berfungsi
|
1,88
3,70
6,20
17,23
2,61
|
31,62
1,60
7,20
17,88
40,28
0,62
|
|
67,58
0,07
|
|
Jumlah
|
100
|
Sumber: Nur, dkk, 1994b
*)Off-task
behavior
1. Percakapan yang tidak relevan dengan tugas
2. Mengerjakan sesuatu yang tidak relevan
dengan tugas
3. Menganggu temannya
4. Mencari perhatian
5. dll.
TABEL 7
REKAPITULASI
HASIL PENILAIAN SUASANA KELAS
KEGIATAN
BELAJAR MENGAJAR BERORIENTASI
PENDEKATAN
KETERAMPILAN PROSES
No.
SEKOLAH/INSTRUMEN
|
SKOR
RATA-RATA ASPEK SUASANA KELAS
|
||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
|
1.
SMAN 9 SURABAYA
Penyearah
½ Gel.
Pengukuran
dg Osiloskop
Pengukuran
dg Avometer
2.
SMAN 16 SURABAYA
Identivikasi
variabel
Pengontrolan
variabel
Pengamatan
3.
SMAN 1 SIDOARJO
1.
SMAN 9 SURABAYA
Identivikasi
variabel
Klasifikasi
Komunikasi
Pengamatan
|
4,40
5,00
4,25
5,00
5,00
4,00
4,50
4,40
4,00
4,00
|
4,40
4,00
3,75
4,00
4,00
4,00
4,25
3,60
3,33
3,25
|
4,60
4,67
4,25
4,30
4,67
4,67
4,50
3,87
4,00
5,00
|
4,60
4,00
4,00
4,00
4,00
4,34
5,00
4,00
4,67
3,75
|
5,20
4,67
3,25
5,00
4,67
3,34
3,75
4,60
2,33
3,25
|
4.
RATA-RATA
|
4,56
|
3,85
|
4,45
|
4,24
|
4,01
|
Sumber: Nur, dkk,
1994b
Keterangan:
I :
Antusiasme siswa dalam mengikuti KBM
II :
Keceriaan siswa dalam mengikuti KBM
III : Aktivitas siswa dalam mencoba alat
IV :
Aktivitas siswa dalam mengerjakan tugas
V :
Intensitas diskusi dalam kelompok
Rentang Skor: 1-5
TABEL 8
REKAPITULASI RESON
SISWA TENTANG PBM BERORIENTASI
No
|
Jenis Item
|
Bentuk Respon
|
Persentase
|
1
|
Respon siswa tentang bahan tes
|
Baru
|
54,48
|
2
|
Respon siswa tentang materi
|
Baru
|
67,92
|
3
|
Respom siswa yang mengikuti KBM
|
Senang
|
82,62
|
4
|
Hal-hal yang membuat Siswa
senang :
|
||
a.
Bahan tertulis (LKS)
|
Senang
|
90,11
|
|
b.
Peralatan dan bahan
belajar
|
Senang
|
94,77
|
|
c.
Suasana kelas
|
Senang
|
84,95
|
|
d.
Penampilan guru
|
Senang
|
87,52
|
|
5
|
Siswa yang berminat mengikuti
kegiatan berikutnya
|
Berminat
|
92,91
|
TABEL 9
KEMAMPUAN GURU DALAM
MENGELOLA KBM
BERORIENTASI
PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES
Kemampuan guru
|
I
|
II
|
II
|
IV
|
PENDAHULUAN
|
||||
1.
Kemampuan memotivasi
siswa
|
2,3
|
3,0
|
2,3
|
4,0
|
2.
Kemampuan menggunakan
media
|
2,0
|
3,3
|
2,3
|
5,0
|
KEGIATAN
|
||||
3.
Keberhasilan
mengaktifkan diskusi
|
2,4
|
3,3
|
2,6
|
4,0
|
4.
Kemampuan guru
mendiskusikan materi
|
2,7
|
3,6
|
3,5
|
4,0
|
5.
Peran guru sebagai
pembimbing/fasilitator
|
3,2
|
3,4
|
3,4
|
3,0
|
6.
Kemampuan membimbing
siswa saling memberi masukan
|
2,6
|
3,5
|
3,3
|
3,0
|
7.
Penguasaan guru
tentang materi
|
3,2
|
3,1
|
3,5
|
4,7
|
SKOR RERATA TOTAL
|
2,6
|
3,3
|
2,9
|
4,0
|
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil ujicoba paket demi paket yang disajikan di
atas dapat disimpulkan bahwa paket belajar
itu dapat dilaksanakan oleh guru secara efektif setelah guru itu dilatih
sebelumnya.kelas yang dipegang guru dengan menggunakan prototipe paket belajar
itu kadar CBSA-nya tinggi,waktu belajar lebih banyak didominasi aktivitas siswa
seperti bertanya,berdiskusi,dan bekerja.guru hanya sedikit menggunakan waktu
untuk ceramah.
Mayoritas siswa menyatakan baru atas materi
yang dipelajar dan senang mengikuti KBM-nya yang menjadikan mereka senang
belajar adalah LKS yang mereka terima, media,suasana kelas,dan penampiln guru.
Guru dengan menggunakan paket belajar ini telah berhasil membuat siswa belajar
IPA dengan senang. Pengakan siswa ini dikonfirmasi oleh pengamatan suasana elas
oleh peneliti.menurut hasil pengamatan itu antusiasme dan keceriaan siswa dalam
mengikuti KBM tinggi, aktivitas siswa dalam
mencoba alat dan mengerjakan
tugas tinggi,tidak kalah pentingnya
,diskusi dalam kelompok intensif.praktis seluruh siswa menyatakan bersedia
mengikuti KBM untuk paket berikutnya.
Guru dengan menggunakan paket
belajar sebagai panduan dalam mengelola KBM telah berhasil meningkatkan hasil belajar siswa
secara tajam.hal ini dapat diihat dari erbedaan yang besar atau amat besar antara proporsi jawaban benar ujiawal
dan ujiakhir.seteelah KBM sejumlah besar tujuan pengajaran mencapai tuntas,
eskipun ada sejulah kecil tujuan pengajaran yang belum tuntas. Ternyata ada
sejumlah komponen keterampilan proses yang dapat dilatihkan dengan cepat dan ada komponen keterampilan
yang meerlukan beberapa kali pengulangan.
Keberhasilan guru dalam mengelola
KBM sehingga tujuan pengajaran tercapai dikonfirmasi dengan pengamatan
kemampuan guru dalam mengelola KBM.
Hasil engamatan ini menunjukkan bahwa guru cukup berhasll dalam mengaktifkan
dan membimbng diskusi ,berhasil ebimbing siswa untuk saling memberikan masukan,
berhasil sebagai fasilitator , dan cukup menguasai.
Materi
apa yang ada dalam paket belajar. Lebih penting lagi penggunaan alat di dalam
proses belajar mengajar menjadi Optimal
Prilaku
siswa yang teramati pada saat berlangsung KBM dengan paket 16 . paket 16
dirancang sesuai dengan arahan kurikulum , yaitu siswa mampu menerapkan konsep
kimia dalam kehidupan sehari-hari.pada paket ini siswa. Paket 16 ini telah
berhasil meningkatkan perseverance
atau memperpanjang time spent.dengan memperpanjang time
spent in maka
degree of learning pun meningkat.
Hasil ujiawal dan ujiakhir
memunculkan hal yang patut dierhatikan.meskipun secra perkomponen keteramplan
proses, siswa telah menguasai,namun untuk dapat melakukan penelitian yang
membutuhkan kemamuan untuk memadukan komponen keterampilan proses itu mereka belum berhasil hanya melalui satu
paket KBM dengan demikian juga dalam menyusun laporan penelitian sebagai karya
ilmiah. Dibutuhkan latiha berulang-ulang untuk menuntaskan siswa terampil
melakukan penelitian dan menulis aporannya.
B.
SARAN
penelitian ini
telah menemukan bahwa dalam hal keterampilan proses siswa SMP dan SMA
underachiever mereka
berprestasi lebih rendah daripada
prestasi sebenarnya yang mungkin dicapai seandainya potensi yang mereka miliki
secara optimal dapat diaktualisasikan. Sementara itu dapat dikatakan juga bahwa
guru SMP dan SMA underperformer , mereka menunjukkan kinerja lebih rendah
daripada kinerja sebenarnya yang dapat ditampilkan seandainya potensi yang
mereka miliki secara optimal dapat diaktualisasikan.
Sementara itu, penelitian ini juga menemukan bahwa
keterampilan proses siswa itu dapat ditingkatkan secara tajam dalam waktu yang
relatif singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Nur,
Mohamad. 1995. Masalah Pendidikan IPA dan
Alternatif Pemecahannya. Surabaya : DEPDIKBUD