Sabtu, 15 April 2017

MAKALAH PARADIGMA PEMBELAJARAN ABAD XXI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dari jaman ke jaman, pendidikan muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Dilihat dari sejarahnya, Pendidikan Indonesia dapat dibagi secara urutan waktu kurang lebih sebagai berikut: (a) jaman pra-kolonial: masa prasejarah dan masa sejarah, (b) jaman kolonial ketika sistem pendidikan ‘modern’ dari Eropa diperkenalkan, dan (c) jaman kemerdekaan RI yang berlangsung hingga sekarang. Masing-masing jaman memiliki corak dan bentuk tersendiri.
Memasuki abad ke-21 sekarang ini, Pendidikan Indonesia dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan peluang, yang tentunya berbeda dengan jaman-jaman sebelumnya. Guna mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung di Abad ke-21 ini, Bangsa Indonesia harus semakin mengasah kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap revolusi pada Pendidikan di Abad XXI ini.
Selaras dengan prinsip-prinsip dalam revolusi pembelajaran (learning revolution), proses pembelajaran seharusnya berpijak pada pilar-pilar active learning, creative learning, effective learning, dan joyful learning. Pembelajaran juga berpijak pada empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yakni Learning to know, learning to do, learning to be, dan learning how to live together.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah Paradigma Baru Pendidikan yang terjadi di abad XXI?
2.      Bagaimanakah Proses Pembelajaran Dan Pemberdayaan Potensi Peserta Didik pada Pendidikan Abad XXI?
3.      Apa Saja Tantangan Pembelajaran Abad ke-21?
4.      Bagaimanakah Perkembangan Paradigma Abad 21 Dan Hubungannya Terhadap Kurikulum 2013?


C.    Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan Makalah ini antara lain sebagai berikut.
1.      Untuk Mengetahui dan memahamiBagaimana Paradigma Baru Pendidikan yang terjadi di abad XXI.
2.      Untuk Menjelaskan Proses Pembelajaran Dan Pemberdayaan Potensi Peserta Didik pada Pendidikan Abad XXI.
3.      Untuk mengetahui apa Saja Tantangan Pembelajaran Abad ke-21.
4.      Untuk mengetahui Perkembangan Paradigma Abad 21 Dan Hubungannya Terhadap Kurikulum 2013.
BAB II
PEMBAHASAN

Kegiatan pendidik dalam membelajarkan peserta didik bukanlah suatu hal yang mudah. Kegiatan tersebut akan dapat berhasil hanya jika dilakukan oleh pendidik yang memang memiliki visi dan misi yang jelas dan berlandaskan sikap ikhlas dan profesional. Profesional artinya seseorang yang mampu melaksanakan pekerjaannya secara mandiri dan berkualitas tinggi. Sedangkan ikhlas dalam hal ini dimaksudkan sebagai sikap seseorang yang bekerja secara sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tanpa mengharapkan imbalan yang lebih dari sandaran yang telah ditetapkan untuk profesi dan bidang pekerjaan yang ditekuninya. Pendidik yang profesional dan ikhlas dalam menjalankan tugas dan fungsinya akan bersedia mengembangkan paradigma berpikir dan bertindak yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan lingkungan hidupnya.
Perubahan dan perkembangan dalam setiap aspek kehidupan terus terjadi dengan cepat. Tidak ada satupun petunjuk pasti tentang apa yang akan terjadi dengan cara orang belajar dan apa yang harus dipelajari untuk kebutuhan masa mendatang. Kecenderungan terjadinya perubahan dalam segala aspek kehidupan termasuk bidang pendidikan akan terus berlanjut. Meskipun aspek-aspek tertentu dalam bidang pendidikan dan pembelajaran akan tetap berlaku, namun beberapa aspek yang lain akan ikut mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan perkembangan bidang ilmu dan teknologi.
Perkembangan yang terjadi terkait dengan cara penyimpanan dan pencarian informasi dengan teknologi komputer telah dan akan semakin banyak mempengaruhi dunia pendidikan. Teknologi komunikasi melalui internet merupakan sumber belajar yang sangat potensial untuk menghubungkan peserta didik dengan beragam sumber belajar yang sulit dijangkau secar langsung. Hal ini berakibat pada perlunya guru meredefinisi pengetahuan dan keterampilannya tentang persiapan, pelaksanaan, instrument dan strategi asesmen dalam pembelajaran.
Pembelajaran yang baik pada abad ini harus mampu menjelaskan bagaimana seharusnya peserta didik belajar dan berpikir. Pembelajaran dalam abad ke XXI ini harus lebih dari sekedar menghafal fakta dan memahami konsep-konsep umum materi pelajaran seperti yang telah terjadi pada awal era perkembangan industri dan masih terus berlangsung di Indonesia sampai sekarang. Pada abad baru ini pembelajaran harus lebih dari sekedar bagaimana menjelaskan apa yang dipikirkan oleh guru, yaitu dengan memodelkan proses pembelajaran yang dialami guru sehingga peserta didik dapat mengamati dan mempelajari keterampilan proses, keterampilan meenyelesaikan masalah dan keterampilan berpikir ketika mempelajari suatu pengetahuan seperti yang dianggap cukup memadai pada era abad ke XX yang telah kita lewati.

A.      Paradigma Baru Pendidikan
Untuk dapat membangun masyarakat terdidik yang cerdas serta mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ini, maka hal yang mendesak untuk dilakukan sekarang adalah menata kembali sistem pendidikan dan pembelajaran. Terkait dengan penataan sistem pembelajaran, maka guru harus berusaha menggeser paradigma pengelolaan pembelajaran dari yang dahulunya lebih berpusat pada guru (teacher centered) menjadi lebih berpusat pada peserta didik (student centered). Paradigma baru seperti ini, bermakna bahwa praktek pembelajaran harus diubah menjadi pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori-teori belajar yang berorientasi konstruktivistik.
Pembelajaran harus lebih difokuskan pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara terus menerus dan mendorong peserta didik untuk membangun pemahaman dan pengetahuan sendiri dalam konteks sosial dan budaya. Tugas belajar didesain sedemikian rupa oleh guru agar menantang dan menarik perhatian peserta didik sehingga pembelajaran akan dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Paradigma baru pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh setiap pendidik bidang sains adalah pembelajaran yang mendidik yakni pembelajaran yang memiliki karakteristik antara sebagai berikut.
a)          menekankan pentingnya proses membelajarkan bagaimana cara belajar
     (learning how to learn);
b)         mengutamakan strategi yang mendorong dan melancarkan  proses belajar
     peserta didik;
c)          dirancang untuk membantu peserta didik agar memperoleh  kecakapan
     mencari jawaban atau solusi atas suatu masalah;
d)         dirancang dan dilaksanakan  bukan untuk sekedar menyampaikan informasi
     langsung kepada peserta didik tetapi lebih menekankan pembelajaran  berbasis
     kompetensi dengan pendekatan kontekstual.

Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak pendidik yang mempersepsikan dan memaknai pembelajaran sebagai (a) kegiatan menyampaikan informasi dan pengetahuan kepada peserta didik secara efektif dan efisien, (b) kegiatan mencipta dan memelihara relasi antara pendidik dengan peserta didik, dan (c) kegiatan menerapkan  kecakapan teknis dalam mengelola sejumlah peserta didik yang belajar. Pembelajaran yang mendidik akan dapat berlangsung dengan baik apabila kondisi dan suasana belajar memungkinkan peserta didik terlibat secara aktif. Pengembangan kondisi dan suasana belajar yang memungkinkan peserta didik dapat berusaha atas aktivitas dan inisiatifnya sendiri berkaitan dengn hal-hal  yang harus dialami selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam hal ini, kondisi dan suasana belajar yang kondusif akan dapat tercipta apabila pendidik mampu merancang pengalaman belajar yang relevan. Salah satu cii dari pengalaman belajar yang mendidik adalah bahwa hasil belajar dapat diukur sehingga guru dapat menentukan perolehan peserta didik. Hal ini dapat diidentifikasi melalui kata kerja yang digunakan dalam rumusan indikator atau tujuan pembelajaran serta pengalaman belajar peserta didik. Kata kerja tersebut berkaitan dengan domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Semakin operasional kata kerja yang digunakan dalam rumusan indikator dan tujuan, maka tentu pengalaman belajar peserta disdik akan semakin terarah.
Menurut Lapono (2008), rancangan program pembelajaran yang mendidik dan sistem asesmen yang tepat perlu diidentifikasi berdasarkan karakteristik tertentu, yang meliputi hal-hal berikut ini:
1)      Hasil belajarr peserta didik dinyatakan dengan kompetensi atau kemampuan yang dapat didemonstrasikan, ditampilkan, atau dapat diobservasi indikator-indikatornya;
2)      Kecepatan belajar peserta didik berbeda dalam mencapai ketuntasan belajar;
3)      Asesmen hasil belajar menggunakan acuan kriteria; dan
4)      Adanya program pembelajaran remediasi dan pengayaan.

Hal penting yang harus diyakini bersama oleh guru dan peserta didik adalah makna kompetensi yang terkandung dalam tujuan pembelajaran. Kompetensi bukan saja perlu dipahami maknanya tetapi juga haeus diyakini manfaatnya bagi kehidupan peserta didk sekarang dan masa datang. Dalam memahami dan menghayati makna tersebut peserta didik harus sampai pada taraf mendapatkan harapan dan cita-cita baru dalam hidup di masa depan. Daam hal ini, diperlukan peran guru profesional yaitu guru yang mampu berinovasi dan berorientasi ke masa depan yang lebih baik dan lebih positif bagi dirinya sendiri dan bagi peserta didk. Pembelajaran jangan sampai mengembangkan kepribadian peserta didik menjadi insan yang pesimis, berfikir negatif, rendah diri, dan tidak mampu bahkan tidak mau melihat masa depannya (Suparman, dkk, 2009).
Agar dapat mendukung perkembangan peserta didik dengan maksimal, maka guru harus merasa bebas dalam berkreasi, bebas mengekspresikan, pikiran dan perasaannya menurut situasi saat berlangsungnya proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus berusaha mencari sendiri cara terbaik dalam menyampaikan visi pembelajaran dan harus berusaha menguasai strategi dan metode pembelajaran yang dipilihnya. Hal yang harus ditumbuhkan oleh guru dalan pikiran peserta didik adalah keyakinan tentang makna kompetensi bagi kehidupannya yang lebih baik saat ini dan masa depan. Modal penting bagi guru agar mampu mengembangkan pembelajaran yang mendidik adalah guru harus menguasai pendekatan sistem pembelajaran dan keterampilan-keteranpilan dasar (teaching skills) yang bermanfaat dalam memfasilitasi proses belajar peserta didik.
Arah kebijakan guru yang mendasar dalam penerapan pembelajaran yang mendidik hendaknya menekankan agar tidak hanya menempatkan peserta didik sebagai alat produksi tetapi pesrta didik harus di pandang sebagai sumer daya manusia yang utuh. Pendidikan dan pembelajaran tidak boleh terjebak pada teori-teori ekonomi neoklasik, yakni teori-teori yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alat produksi, dimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk menopang kekuasaan dan kepentingan kapitalis.
Dalam proes pembelajaran perlu di gembangkan suasana setara melalui komunikasi yang transparan, toleran dan tidak arogan. Guru dituntut untuk dapat mengembangkan suasana yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap peserta didik berkomunikasi dan mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan potensi dirinya. Hal ini menjadi sangat penting karena pendidik adalah juga pemimpin yang harus mengakomodasi berbagai pertanyaan dan kebutuhan peserta didik. Pendidik maupun peserta harus berusaha saling menghargai dan menghormati pendapat dan pandangan masing-masing. Suasana keetaraan perlu di kembangkan dengan berorientasi pada upaya mendorong peserta didik agar mampu menyelesaikan berbagai perbedaan yang ada di antara sesamanya secara harmonis dan rasional.
Proses pembelajaran harus diarahkan bagi pengembangan potensi-potensi peserta didik secara menyeluruh dan terpadu. Pengembangan potensi peserta didik secara tidak seimbang dapat menjadikan pendidikan cenderung lebih peduli pada pengembangan kepribadian tertentu saja dan bersifat parsial. Padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik merupakan tujuan yang ingin di capai oleh semua sekolah dan guru. Oleh karena itu adalah keliru jika guru hanya berpikir bahwa tanggung jawabnya hanyalah menyampaikan materi pelajaran seuai dengan bidang studi saja ( Gordon, 1997 ).
Secara paedagogis, arah kebijakan pendidikan terkait dengan pengembangan pendekatan dan metodologi proses pendidikan dan pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sumber belajar (multi resources learning). Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan telah mengubah paradigma pendidikan yang menempatkan guru sebagai fasilitator dan agen pembelajaran dimana peserta didik dapat memiliki akses yang seluas-luasnya kepada beragam media untuk kepentingan pendidikannya.

B.       Pembelajaran Dan Pemberdayaan Potensi Peserta Didik
Pandangan yang menempatkan guru sbagai satu-satunya sumber informasi dan memaknai pembelajaran hanya sebagai poses transfer informasi (transfer of knowledge) dari guru kepada peserta didik semakin banyak mendapat kritikan. Kelemahan pandangan ini semakin terasa jika di lihat dari pesatnya perkembangan arus informasi dan media komunikasi yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan (aunurrahman, 2009). Dalam kondisi seperti sekarang ini, guru harus menjadi fasilitator yang mendorong peserta didik untuk belajar secara aktif dan mandiri.
Dalam kondisi sekarang ini guru harus mampu memberikan dan arahan kepada peserta didik untuk mencari berbagai sumber yang dapat membantu peningkatan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang apa-apa yang perlu di pelajari. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa pendidikan bertujauan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah yang manusia yang mampu berpikir kritis dan kreatif., mandiri dan dapat mengembangkan potensi diri serta masyarakatnya (tilaar, 2000). Di samping persoalan-persoalan khusus pembelajaran di kelas, dalam kenyataan kehidupan sehari-hari setiap individu peserta didik tentu akan dihadapkan pada beragam persoalan. Seorang peserta didik akan menghadapi masalah berkaitan dengan aktivitas atau tugas-tugas belajarnya. Apabila peserta didik telah menjadi pekerjapun mereka juga akan berhadapan dengan berbagai masalah berkaitan dengan pekerjaannya. Bahkan setiap orang mesti akan memiliki masalah terkait dengan kepribadiannya sendiri. Misalnya saja kita seringkali mendengar seseorang yang mengatakan saya tidak memiliki semangat, saya seringkali merasa malas, saya merasa kurang percaya diri, saya merasa sulit menyesuaikan diri dan sebagainya. Timbangan suatu masalah, tidak terletak pada eksistensi masalah yang dihadapi, akan tetapi lebih pada persepsi seseorang tentang masalah tersebut. Oleh karena itu, melalui pengenalan masalah dalam proses pembelajaran, maka peserta didik dilatih untuk mampu menempatkan posisi dirinya ketika menghadapi suatu masalah. Terkait dengan hal ini telah dikembangkan apa yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang sangat dianjurkan untuk diterapkan oleh setiap guru dalam bidang pembelajaran sains.
Guru memiliki peran penting dalam membantu peserta didik untuk menemukan jati dirinya terkait dengan peran guru dalam memfasilitasi berkembangnya potensi-potensi peserta didik secara menyeluruh, termasuk mendorong mereka agar mampu memberdayakan dirinya dalam menghadapi berbagai masalah. Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya pemberdayaan diri (self empowering). Dalam bidang sains, peserta didik sejak di sekolah dasar sudah diperkenalkan dengan materi tentang mengenal diri sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri berarti pula peserta didik akan mengenali kelebihan atau kekuatan yang dimilikinya. Pada sisi lain dapat berarti bahwa seseorang akan mengenali kelemahannya sendiri sehingga akan berupaya mencari cara-cara yang tepat untuk mengatasinya. Jika peserta didik tidak mampu memahami kelemahan dirinya sendiri, maka akan berpotensi membawa peserta didik tersebut pada ketidakberhasilan.
Dalam bukunya yang berjudul The Seven Habits of Efective People Steven R. Covey, mengetengahkan teori yang disebut “Proses Kematangan Berkelanjutan” (Continum Maturity Process). Menurut teori tersebut, manusia berkembang dari tahap ketergantungan (dependence) menuju tahap kemandirian (interdependence). Dalam usia dini setiap individu merupakan makhluk yang tidak berdaya dan sangat didik akan menghadapi masalah berkaitan dengan aktivitas atau tugas-tugas belajarnya. Apabila peserta didik telah menjadi pekerjapun mereka juga akan berhadapan dengan berbagai masalah berkaitan dengan pekerjaannya. Bahkan setiap orang mesti akan memiliki masalah terkait dengan kepribadiannya sendiri. Misalnya saja kita seringkali mendengar seseorang yang mengatakan saya tidak memiliki semangat, saya seringkali merasa malas, saya merasa kurang percaya diri, saya merasa sulit menyesuaikan diri dan sebagainya. Timbangan suatu masalah, tidak terletak pada eksistensi masalah yang dihadapi, akan tetapi lebih pada persepsi seseorang tentang masalah tersebut. Oleh karena itu, melalui pengenalan masalah dalam proses pembelajaran, maka peserta didik dilatih untuk mampu menempatkan posisi dirinya ketika menghadapi suatu masalah. Terkait dengan hal ini telah dikembangkan apa yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang sangat dianjurkan untuk diterapkan oleh setiap guru dalam bidang pembelajaran sains.
Guru memiliki peran penting dalam membantu peserta didik untuk menemukan jati dirinya terkait dengan peran guru dalam memfasilitasi berkembangnya potensi-potensi peserta didik secara menyeluruh, termasuk mendorong mereka agar mampu memberdayakan dirinya dalam menghadapi berbagai masalah. Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya pemberdayaan diri (self empowering). Dalam bidang sains, peserta didik sejak di sekolah dasar sudah diperkenalkan dengan materi tentang mengenal diri sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri berarti pula peserta didik akan mengenali kelebihan atau kekuatan yang dimilikinya. Pada sisi lain dapat berarti bahwa seseorang akan mengenali kelemahannya sendiri sehingga akan berupaya mencari cara-cara yang tepat untuk mengatasinya. Jika peserta didik tidak mampu memahami kelemahan dirinya sendiri, maka akan berpotensi membawa peserta didik tersebut pada ketidakberhasilan.
Dalam bukunya yang berjudul The Seven Habits of Efective People Steven R. Covey, mengetengahkan teori yang disebut “Proses Kematangan Berkelanjutan” (Continum Maturity Process). Menurut teori tersebut, manusia berkembang dari tahap ketergantungan (dependence) menuju tahap kemandirian (interdependence). Dalam usia dini setiap individu merupakan makhluk yang tidak berdaya dan sangat tergantung pada bantuan orang lain. Apabila telah berusia remaja, maka akan lebih mampu berjuang untuk mandiri dan setelah sampai pada fase dewasa, individu manusia tidak hanya dapat bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi dapat membantu orang lain, atau sebaliknya membutuhkan bantuan orang lain. Dalam perjalanan hidup individu dari masa anak-anak, masa remaja, dewasa dan masa tua terjadi proses kematangan yang berkesinambungan (Aunurrahman, 2009).
Pemberdayaan potensi peserta didik dalam proses pembelajaran harus berpijak pada fakta dan realita. Kegiatan pembelajaran harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan sense of interest, sense of curiosity, sense of reality, dan sense of discovery dalam mempelajari fakta untuk mencari kebenaran. Untuk dapat mencapai keberhasilan atau sukses yang didambakan oleh setiap individu, maka diperlukan upaya-upaya sistematik dan intensif untuk memberdayakan diri sendiri. Pemberdayaan diri, menurut kajian psikologi sebaiknya dimulai dengan membangun konsep diri positif. Konsep diri positif mengandung arti bahwa individu harus mampu meletakkan atau memposisikan dirinya sebagai individu yang berdaya, tidak memandang dirinya dari perspektif negatif. Konsep diri yang positif diantaranya ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut.                   
1.         Pengetahuan yang luas tentang dirinya sendiri.
2.         Memahami kelebihan dan kelemahan diri.
3.         Memiliki keinginan yang kuat untuk berubah.
4.         Mampu mcnghargai orang dan mampu menerima orang lain apa adanya.
5.         Mampu sccara terbuka menerima kritikan orang lain.
6.         Memiliki sistem pertahanan diri yang kuat.
7.         Memiliki kontrol internal diri.
Sebaliknya seseorang harus terus berupaya menghindari konsep diri yang negatif dengan ciri-ciri seperti di bawah ini.
1.        Pengetahuan tentang diri sendiri sempit.
2.        Memiliki pemahaman diri yang parsial.
3.        Tidak memiliki keinginan yang kuat untuk berubah.
4.        Kurang menghargai dan sulit menerima orang lain apa adanya.
5.        Tidak senang kalau dikritik.
6.        Mudah terpengaruh oleh lingkungan negative.
7.        pengendalian/kontrol diri cksternal
Jika seseorang mampu membentuk citra diri atau konsep diri positif maka secara bertahap dia akan dapat mengembangkan diri menjadi  pribadi  yang unggul.  Beberapa ciri  pribadi yang unggul menurut Irmim dan Suharyo (2004), antara lain ialah: (a) memiliki fisik dan mental yang kuat, (b) memiliki kepercayaan diri yang kuat, (c) tidak mudah putus asa, (d) memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, (e) bisa melayani bawahan, teman dan atasan, (f) selalu berpikir kemasa depan, (g) memiliki motivasi kerja yang tinggi, (h) senantiasa mengembangkan potensi diri, (i) memiliki inisiatif dan daya kreasi, (j) mampu berkomunikasi dengan baik, dan (k) memiliki loyalitas yang tinggi.
Melalui proses pembelajaran, guru dituntut untuk mampu membimbing dan memfasilitasi peserta didik agar mereka dapat memahami kekuatan serta kemampuan yang mereka miliki dan selanjutnya memberikan motivasi agar peserta didik terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin untuk mewujudkan keberhasilan berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Untuk dapat memfa­silitasi agar peserta didik dapat lebih mengenal kemampuannya, maka langkah awal yang perlu dilakukan guru adalah berusaha mengenal peserta didiknya dengan baik. Guru perlu mengenal lebih mendalam tentang bakat, minat, motivasi, harapan-harapan peserta didik serta beberapa dimensi khusus kepribadiannnya.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru dituntut untuk mengembangkan sikap trbuka dan sabar agar dapat memahami peserta didiknya dengan akal sehat. Drost (2000) mengemukakan bahwa selayaknya guru tidak secara gegabah melihat kesalahan peserta didik, akan tetapi lebih baik mencari sisi positif dan berusaha memberikan pujian. Seandainya perlu diberikan teguran, maka hendaknya tidak dilakukan dengan nada marah dan membenci. Secara lebih spesifik, beberapa dimensi kemampuan peserta didik yang perlu diperhatikan dalam upaya pemberdayaan individu peserta didik melalui proses belajar ini adalah:
a.        Mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri.
b.        Meningkatkan rasa percaya diri.
c.        Dapat meningkatkan kemampuan menghargai diri dan orang lain.
d.        Meningkatkan kemandirian dan inisiatif untuk memulai perubahan.
e.        Meningkatkan komitmen, tanggung jawab dan motivasi internal.
f.         Meningkatkan kemampuan mengatasi masalah secara kreatif danpositif.
g.         Meningkatkan   kemampuan   untuk   melaksanakan   tugas   secara professional.
h.        Mengembangkan kemampuan mengendalikan diri dan tidak mudah menyalahkan orang lain.
i.          Meningkatkan kemampuan membina hubungan interpersonal yang baik.
j.          Meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan

C.      Tantangan Pembelajaran Abad ke-21
secara umum kita dapat memahami bahwa sesungguhnya tantangan yang dihadapi oleh bangsa indonesia dewasa ini adalah bersifat multidimensi. Oeh karena itu,misi untuk mencerdasakan kehidupan bangsa masih tetap perlu diupayakan oleh setiap pendidik dan orang tua. Perlu pula dipikirkan tentang pendidikan seperti apakah yang mampu menunjang kebutuhan negara dan bangsa indonesia dalam menghadapi tantangan abad ini.
Pendidikan yang relevan dengan upaya menghadapi tantangan zaman yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi dan membentuk watak ynag relevan dengan upaya menghadapi tantangan zaman.pendidikan dan pembelajaran yang bermakna sebagai proses pemberdayaan kemampuan berfikir kritis dan berfikir kreatif,kemampuan menyelesaikan masalah ,kemampuan bekerja berdasarkan etos kerja yang baik,kemampuan meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),dan membudayakan sikap mandiri,bertanggung jawab,demokratis,jujur ,dan bermoral. Pertanyaannya adalah model pembelajaran seperti apakan yang dapat bermakana sebagai proses pemberdayaan.
Apabila pembelajaran dapat merangsang ,menantang,dan menyenangkan.seperti yang dikemukakan oleh whitehead sampai tingkat “jay of discovery” maka diharapkan proses pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses pemberdayaan dan proses  penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan (soedijarto,2009).Dalam kaitan dengan hal ini unesco,melalui international commission on euication for the 21” century (geremeek,1986) yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically divided world where high technology is privilage of the few to technologically united  world” dengan mengusulkan empat pilar pendidikan yakni belajar untuk mengetahui (learning to know),belajar untuk melakukan (learning to do),belajar untuk menjadi learning to be),dan belajar untuk hidup bersama – sama atau belajar bersosialisasi (learning to live together).
Kemampuan guru untuk menerapkan empat pilar pendidikan atau pilar belajar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik untuk menguasai cara memperoleh pengetahuan,berkesempatan berinteraksi secara aktif sesama peserta didik sehingga dapat mengembangkan potensi diri dan menemukan jati dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat  berlangsung dengan difasilitasi oleh guru yang penuh konsentrasi,peralatan yang memadai,materi yang terpilih dan waktu yang cukup secara fleksibel.
Empat pilar pendidikan ditujukan agar proses pendidikan dapat menghadapi tantangan abad ke 21. Whitehead menyatakan bahwa  the nead for change from narrow nationalism to universalism,from ethnic to cultural prejudise to tolerance,understanding and pluralism,from autocracy to democracy its various manifastations,and from technologically divided world where high technology is privilage of the is privilage of the few to a technologically united  world.places enormous responsibilities on teacher  who participate in the moulding of the characiers and minds of the new generations” pernyataan tersebut menunjukkan ,betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendidri republik indonesia ini sebagaimana tertuang dalam pembukaan  UUD 1945 (Soedijartono,2009).
Proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan cara untuk mengetahui (ways of knowing) ataupun pola inkuiri (mode of inquiry)memungkinkan peserta didik untuk terus belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan dari hasil temuan orang  lain.oleh karena itu hakikatnya belajar untuk mengetahui (learning to know) adalah proses pembelajaran yang memeungkinkan peserta didik untuk menguasai teknik mempelajari ilmu pengetahuan dan bukan semata – mata memperoleh pengetahuan. Menurut scheffler pilar ini pada hakikatnya terkait dengan relevansi epistemologi yang mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji.
Pernyataan lengkap dari scheffler ialah epistemological relevance in short requires us to reject both myth and mystic it requires not contact but criticism,not immersion in            and conceptual given,but the flexiblity of mind capable of transcending,reordering,and expanding, the given.”an education that fosters criticism and conceptual flexiblity transcends its environtment and by crecting a mythical subtitue for this world but rather for a systematic and penetrating comprehension of it.selanjutnya dia menguraikan pengkajian dalam kalimat berikut : Theoritical Inquiry indenpedently persued has the most powerful potential for the analysis  and transformation of practice. The bearing of inquiry upon practice is moreover of the gretest educational interest. Such interest is not contary to recent emphases ,exhausted in a concern for inquiry while the structure of several disciplines.student should be employ the information and technique of disciplines in analisys criticism,and alteration of their practical outlook. Habits of practical diagnosis,critique and excution upon responsible inquiry need the suplement theoritical attitude and disciplinary profidencies in the traing of the young.
Pandangan scheffler tentang relevansi pendidikan sangat terkait dengan “learning to know”pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya phenix, scheffler memandang pentingnya pilar ini,untuk berangkat dari disiplin ilmu pengetahuan karena bagi mereka “mode of inquiry” dari disiplin ilmu adalah bntuk yang paling tertinggi dari berfikir. Dalam kaitan ini dia menyatakan bahwa “in the revolutionary perspective,thought is an adaptive instrument for overcoming enviromental difficulties. Scientific inquiry the most explicity form of thought is the most explicity problem directed.” Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan pilar  “learning to known) adalah penerapan paradigma ini akan dapat dihasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan kecakapan akademik yang tinggi dan mampu berkompetisi dalam pergaulan global.
Sasaran dari pilar pertama yakni learning to know adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan mengantarkan peserta didik pada ketercapaian keseimbangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun pilar kedua yakni learning to do, sasarannya adalah kemampuan bekerja. Dalam komunitas masyarakat industri, tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan intelektual yang handal untuk melaksanakan pekerjaan seperti controling, monitoring, maintaining, designing, organizing yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Melalui konsep bekerja untuk melakukan, maka guru akan berperan dalam mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja yang penuh tantangan. Belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit dapat membantu peserta didik untuk tidak hanya menguasai keterampilan yang bersifat mekanistik saja melainkan akan mengantarkan mereka untuk menguasai kemampuan berkomunikasi. Bekerjasama, serta mengelola dan mengatasi konflik.
Penerapan pilar belajar untuk hidup bersama (learning to live together) menjadi bagian dari tugas pendidik yang bertujuan agar pada saat yang bersamaan peserta didik memperoleh dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Mendidik orang untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan menyadari adanya saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dalam waktu sesaat saja melainkan perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif lama. Paradigma pembelajaran kooperatif sebenarnya dikembangkan dalam rangka menunjang keberhasilan pilar belajar untuk hidup dan bekerjasama ini.
Dalam strategi pembelajaran kooperatif, peserta didik dikondisikan untuk belajar bersama-sama dalam kelompok heterogen guna membahas pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang terkait dengan pelajaran yang dihadapinya. Strategi kooperatif dewasa ini sedang digalakkan dalam dunia pendidikan. Di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa serta Afrika (Slavin, 1995), strategi kooperatif sudah disosialisasikan melalui seminar, konferensi-konferensi, dan lokakarya serta penerbitan sejak akhir tahun 1980an. Menurut Pratt (2003), strategi kooperatif sangat penting untuk mendukung kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri, membimbing dan memfasilitasi proses pembelajaran, serta mendesain dan mengelola lingkungan belajar. Strategi kooperatif dapat memberikan pengalaman belajar dengan membangun saling ketergantungan positif antar sesama anggota kelompok, mengembangkan tanggung jawab individual, dan keterampilan bekerjasama secara seimbang.
Ketiga pilar pendidikan yang diuraikan di atas ditujukan untuk melahirkan generasi muda yang mampu mencari informasi, menemukan ilmu pengetahuan, melaksanakan tugas dalam mengatasi masalah, dan mampu bekerja sama, bertenggang rasa dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan, maka akan menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik. Hasil akhirnya adalah peserta didik akan berkembang menjadi manusia yang mampu mengenali dirinya, berkepribadian mantap secara emosional dan intelektual dan mandiri. Manusia seperti ini akan mampu mengendalikan dirinya, konsisten dan memiliki rasa empati atau dalam kamus psikologi disebut memiliki kecakapan emosional (emotional intelligence). Inilah makna dari belajar untuk menjadi (learning to be) yaitu muara akhir dari ketiga pilar yang lain.
Proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung selama ini pada umumnya belum mampu membantu peserta didik untuk mencapai tingkatan kepribadian seutuhnya. Hal ini terjadi mungkin karena proses belajar yang dirancang oleh guru belum sampai pada tingkatan joy of discovery pada pilar belajar untuk mengetahui, tingkatan joy of being succesful in achieving objectives, pada pilar belajar untuk melakukan, dan tingkatan joy of getting together to achieve common goal pada pilar belajar bersosialisasi atau hidup bersama. Hanya melalui penerapan paradigma baru pembelajaran dengan berorientasi pada keempat pilar pendidikan maka upaya menghadapi tantangan zaman melalui pengembangan kemampuan dan pembentukan watak akan dapat berhasil. Terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya sebagai tujuan utama pendidikan akan benar-benar terwujud bila ditunjang dengan sistem perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran dilakukan secara objektif, komprehensif dan berkesinambungan.

D.       Perkembangan Paradigma Abad 21 Dan Hubungannya Terhadap Kurikulum 2013
 Perkembangan dunia abad 21 ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam segala segi kehidupan. Teknologi menghubungkan dunia yang melampaui sekat-sekat geografis sehingga dunia menjadi tanpa batas. Teknologi transportasi udara memberikan kemudahan menempuh perjalanan panjang. Media on-line beritasatu.com merilis waktu tempuh Newark – Singapura sejauh 9.535 mil dengan penerbangan non-stop selama 18 jam. Melalui media televisi, kejadian di suatu tempat dapat secara langsung diketahui dan dilihat di tempat lain yang berjarak sangat jauh pada waktu bersamaan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melalui internet memberi kemudahan pengiriman uang pada waktu yang sangat singkat, bahkan real time. Perkembangan teknologi menjadikan terjadinya perubahan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja.
Tantangan masa depan yang harus dihadapi oleh generasi mendatang. Antara lain : 1) Globalisasi: WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA, 2) Masalah lingkungan hidup, 3) Kemajuan teknologi informasi, 4) Konvergensi ilmu dan teknologi, 5) Ekonomi berbasis pengetahuan, 6) Kebangkitan industri kreatif dan budaya, 7) Pergeseran kekuatan ekonomi dunia, 8) Pengaruh dan imbas tekno sains, 9) Mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan. Maka sebagai generasi yang bijak maka perubahan dan permasalahan-permasalahan itu harus dapat kita sikapi dengan bijaksana sehingga  perubahan dan permasalahan itu dapat kita selesaikan dengan baik dan dapat meningkatkan martabat kita sebagai manusia.
Standar kinerja akademik terjadi seiring dengan perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) dan pertumbuhan ekonomi global. Perubahan standar menuntut penyesuaian dunia pendidikan dalam menyiapkan peserta didik. Tekonologi informasi dan komunikasi memudahkan komunikasi antar anggota masyarakat dan dunia kerja yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Pertumbuhan ekonomi global menuntut persaingan yang semakin ketat dalam setiap aspek kehidupan, pasar tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis, namun dusah menjadi pasar global. Siswa abad 21 perlu dibekali dengan kemampuan TIK dan mencermati perkembangan ekonomi global. Proses pembelajaran harus mengakomodir hal tersebut.
Kesuksesan seorang siswa tergantung pada kecakapan abad 21, sehingga siswa harus belajar untuk memilikinya. Partnership for 21st Century Skills mengidentifikasi kecakapan abad 21 meliputi : berpikir kritis, pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi. Berpikir kritis berarti siswa mampu mensikapi ilmu dan pengetahuan dengan kritis, mampu memanfaatkan untuk kemanusiaan. Trampil memecahkan masalah berarti mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya dalam proses kegiatan belajar sebagai wahana berlatih menghadapi permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya. Ketrampilan komunikasi merujuk pada kemampuan mengidentifikasi, mengakses, memanfaatkan dan memgoptimalkan perangkat dan teknik komunikasi untuk menerima dan menyampaikan informasi kepada pihak lain. Terampil kolaborasi berarti mampu menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan sinergi. Sedang menurut National Education Association untuk mencapai sukses dan mampu bersaing di masyarakat global, siswa harus ahli dan memiliki kecakapan sebagai komunikator, kreator, pemikir kritis, dan kolaborator.
Mensikapi fenomena perubahan kebutuhan tenaga kerja dan kemajuan, sekolah perlu dipersiapkan dan menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan abad 21. Pemahaman terhadap kecakapan abad 21 menjadi penting disampaikan kepada siswa. Pencapaian kecakapan abad 21 dilakukan dengan memahami karakteristik, teknik pencapaian dan strategi pembelajaran yang dilakukan. Oleh karenanya lahirlah kurikulum 2013 sebagai penunjang paradigma pendidikan abad 21 ini.
Tema pengembangan Kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Dalam acara sosialisasi tersebut juga dijelaskan tentang alasan untuk dikembangkannya Kurikulum 2013  untuk menyiapkan generasi masa depan yang memiliki kemampuan, berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis,kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan,kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab,kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja ,memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.
Kurikulum 2013 yang akan diimplementasikan pada tahun pelajaran 2013-2014 ini, merupakan penyempurnaan Kurikulum KBK dan KTSP memerlukan tahapan mulai sosialisasi sampai implementasi harus melalui perjuangan dan kerja keras dari semua pihak yang peduli terhadap mutu pendidikan. Banyak tanggapan dari praktisi, pengamat serta pakar dunia pendidikan baik yang pro maupun yang kontra, hal ini merupakan pertanda positif yang berarti peduli terhadap  pendidikan sehingga banyak masukan dan kritik yang membangun dalam memperbaiki hal-hal yang harus disempurnakan. Kurikulum 2013 jika dikatakan sebagai perubahan ini juga memerlukan usaha untuk dapat diterima di semua pihak, perubahan paradigma bagaimana menyusun sistem pembelajaran, metode pembelajaran yang mampu menjawab tantangan masa depan, tantangan  abad 21.
Strategi Pembelajaran Abad 21
Paradigma pembelajaran abad 21 menekankan kepada kemampuan siswa untuk berpikir kritis, mampu menghubungkan ilmu dengan dunia nyata, menguasai teknologi informasi komunikasi, dan berkolaborasi. Pencapaian ketrampilan tersebut dapat dicapai dengan penerapan metode pembelajaran yang sesuai dari sisi penguasaan materi dan ketrampilan. Kemampuan berpikir kritis siswa dibangun melalui pembelajaran yang menerapkan taksonomi pembelajaran sebagaimana disampaikan oleh Benyamin Bloom tahun 1956 yang telah direvisi pada tahun 2001. Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Tujuan pendidikan mengalami penyempurnaan pada tahun 2001 (Anderson dan Krathwohl, 2001). Taksonomi pembelajaran dikelompokan dalam dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif.
Dimensi proses pengetahuan terdiri empat bagian yaitu faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Krathwohl (2002), Anderson & Krathwohl (2001) menyebutkan bahwa pengetahuan faktual menekankan pada pengetahuan faktual, yaitu pengetahuan yang berupa potongan-potongan informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu, yang mencakup pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang bagian detail. Pengetahuan faktual menyajikan fakta-fakta yang muncul dalam pengetahuan. Pengetahuan konseptual, yaitu pengetahuan yang menunjukkan saling keterkaitan antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang lebih besar dan semuanya berfungsi sama-sama, yang mencakup skema, model pemikiran dan teori. Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, baik yang bersifat rutin maupun yang baru, dan Pengetahuan metakognitif, yaitu mencakup pengetahuan tentang kognisi secara umum dan pengetahuan tentang diri sendiri.
Dimensi poses pengetahuan terbagi dalam tiga yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (Anderson & Krathwohl, 2001:67-68) ranah kognitif terbagi dalam enam tingkat yaitu : 1) mengingat (remember) : mengambil, mengakui, dan mengingat pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang; 2) memahami (understand): membangun makna dari lisan, pesan tertulis, dan grafis melalui menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan; 3) menerapkan (apply): melaksanakan atau menggunakan prosedur melalui pelaksana, atau menerapkan; 4) menganalisis (analyze): breaking materi menjadi bagian-bagian penyusunnya, menentukan bagaimana bagian-bagian berhubungan satu sama lain dan yang secara keseluruhan struktur atau tujuan melalui membedakan, mengorganisasikan, dan menghubungkan; 5) evaluasi (evaluate): membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar melalui memeriksa dan mengkritisi; dan 6) menciptakan (create): menempatkan elemen bersama-sama untuk membentuk suatu kesatuan yang utuh atau fungsional, reorganisasi elemen ke pola baru atau struktur melalui menghasilkan, perencanaan, atau menghasilkan.
Beers menegaskan bahwa strategi pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa dalam mencapai kecakapan abad 21 harus memenuhi kriteria sebagai berikut : kesempatan dan aktivitas belajar yang variatif; menggunakan pemanfaatan teknologi untuk mencapai tujuan pembelajaran; pembelajaran berbasis projek atau masalah; keterhubungan antar kurikulum (cross-curricular connections); fokus pada penyelidikan/inkuiri dan inventigasi yang dilakukan oleh siswa; lingkungan pembelajaran kolaboratif; visualisasi tingkat tinggi dan menggunakan media visual untuk meningkatkan pemahaman; menggunakan penilaian formatif termasuk penilaian diri sendiri.
Kesempatan dan aktivitas belajar yang variatif tidak monoton. Metode pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi yang hendak dicapai. Penguasaan satu kompetensi ditempuh dengan berbagai macam metode yang dapat mengakomodir gaya belajar siswa auditori, visual, dan kenestetik secara seimbang. Dengan demikian masing-masing siswa mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Proses pembelajaran yang mampu mengakomodir kemampuan berpikir kritis siswa tidak dapat dilakukan dengan proses pembelajaran satu arah. Pembelajaran satu arah, atau berpusat pada guru, akan membelenggu kekritisan siswa dalam mensikapi suatu materi ajar. Siswa menerima materi dari satu sumber, dengan kecenderungan menerima dan tidak dapat mengkritisi. Kemampuan berpikir kritis dibangun dengan mendalami materi dari sisi yang berbeda dan menyeluruh.
Kemampuan menghubungkan ilmu dengan dunia nyata dilakukan dengan mengajak siswa melihat kehidupan dalam dunia nyata. Memaknai setiap materi ajar terhadap penerapan dalam kehidupan penting untuk mendorong motivasi belajar siswa. Secara khusus pada dunia pendidikan dasar yang relatif masih berpikir konkrit, kemampuan guru menghubungkan setiap materi ajar dengan kehidupan nyata akan meningkatkan penguasaan materi oleh siswa. Menghubungkan materi dengan praktik sehari-hari dan kegunaannya dapat meningkatkan pengembangan potensi siswa.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan:
Dalam rangka untuk menghadapi tantangan era global, guru perlu mencari dan menemukan paradigma baru terkait tugas dan perannya sebagai pendidik. Paradigma pembelajaran yang relevan dengan tuntutan era ilmu pengetahuan ini adalah pembelajaran yang mendidik. Paradigma pembelajaran yang mendidik memiliki karateristik seperti menekankan proses membelajarkan bagaimana belajar (learning how to learn), mengutamakan strategi yang mendorong dan melancarkan proses belajar peserta didik, diarahkan untuk membantu peserta didik memperoleh kecakapan mencari jawaban atau solusi atas suatu pertanyaan atau masalah dengan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Dalam rangka itulah guru perlu memperhatikan empat pilar pendidikan yakni belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama-sama atau belajar bersosialisasi (learning to live together).
B.     Saran
Sebaiknya guru selalu mengembangkan dan mengasah 4 kemampuan dasar seorang guru yaitu kemampuan pedagogi, professional, kepribadian, dan social karena hal tersebut harus benar-benar matang didalam menghadapi paradigm pendidikan di abad XXI.


DAFTAR PUSTAKA


Jufri, Wahab A. 2010. Belajar dan Pembelajaran Sains. Mataram: Arga Puji Press.

1 ulasan

  1. Terima kasih atas tulisan mengenai tantangan guru di abad 21. Memang benar, selaku pendidk kita harus siap menerima kenyataan pesatnya perkembangan dunia digital, setiap sat terjadi perubahan di segala bidang kehidupan , maka jika kita tidak bisa mengikuti perkembangan iptek maka habislah kesempatan kita untuk tetap exsit. Terima kasih

    BalasPadam


EmoticonEmoticon