BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dari jaman ke jaman, pendidikan muncul dalam berbagai
bentuk dan paham. Dilihat dari sejarahnya, Pendidikan Indonesia dapat dibagi secara urutan waktu kurang lebih
sebagai berikut: (a) jaman pra-kolonial: masa prasejarah dan masa sejarah, (b)
jaman kolonial ketika sistem pendidikan ‘modern’ dari Eropa diperkenalkan, dan
(c) jaman kemerdekaan RI yang berlangsung hingga sekarang. Masing-masing jaman
memiliki corak dan bentuk tersendiri.
Memasuki abad ke-21 sekarang
ini, Pendidikan Indonesia dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan peluang,
yang tentunya berbeda dengan jaman-jaman sebelumnya. Guna mengantisipasi dan
menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang
dan akan terus berlangsung di Abad ke-21 ini, Bangsa Indonesia harus semakin
mengasah kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap revolusi pada
Pendidikan di Abad XXI ini.
Selaras dengan prinsip-prinsip
dalam revolusi pembelajaran (learning
revolution), proses pembelajaran seharusnya berpijak pada pilar-pilar active learning, creative learning,
effective learning, dan joyful
learning. Pembelajaran juga berpijak pada empat pilar pendidikan menurut
UNESCO, yakni Learning to know, learning
to do, learning to be, dan learning
how to live together.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah
Paradigma Baru Pendidikan yang terjadi di abad XXI?
2.
Bagaimanakah Proses Pembelajaran
Dan Pemberdayaan Potensi Peserta Didik pada Pendidikan Abad XXI?
3. Apa Saja Tantangan
Pembelajaran Abad ke-21?
4. Bagaimanakah Perkembangan
Paradigma Abad 21 Dan Hubungannya Terhadap Kurikulum 2013?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan
Penulisan Makalah ini antara lain sebagai berikut.
1.
Untuk Mengetahui dan memahamiBagaimana Paradigma Baru Pendidikan yang terjadi di
abad XXI.
2.
Untuk Menjelaskan Proses
Pembelajaran Dan Pemberdayaan Potensi Peserta Didik pada Pendidikan Abad XXI.
3. Untuk mengetahui apa Saja Tantangan Pembelajaran Abad ke-21.
4. Untuk mengetahui Perkembangan Paradigma Abad 21 Dan Hubungannya
Terhadap Kurikulum 2013.
BAB II
PEMBAHASAN
Kegiatan
pendidik dalam membelajarkan peserta didik bukanlah suatu hal yang mudah.
Kegiatan tersebut akan dapat berhasil hanya jika dilakukan oleh pendidik yang memang
memiliki visi dan misi yang jelas dan berlandaskan sikap ikhlas dan profesional.
Profesional artinya seseorang yang mampu melaksanakan pekerjaannya secara
mandiri dan berkualitas tinggi. Sedangkan ikhlas dalam hal ini dimaksudkan
sebagai sikap seseorang yang bekerja secara sungguh-sungguh dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya tanpa mengharapkan imbalan yang lebih dari sandaran yang
telah ditetapkan untuk profesi dan bidang pekerjaan yang ditekuninya. Pendidik
yang profesional dan ikhlas dalam menjalankan tugas dan fungsinya akan bersedia
mengembangkan paradigma berpikir dan bertindak yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dan lingkungan hidupnya.
Perubahan dan
perkembangan dalam setiap aspek kehidupan terus terjadi dengan cepat. Tidak ada
satupun petunjuk pasti tentang apa yang akan terjadi dengan cara orang belajar dan
apa yang harus dipelajari untuk kebutuhan masa mendatang. Kecenderungan terjadinya
perubahan dalam segala aspek kehidupan termasuk bidang pendidikan akan terus
berlanjut. Meskipun aspek-aspek tertentu dalam bidang pendidikan dan pembelajaran
akan tetap berlaku, namun beberapa aspek yang lain akan ikut mengalami
perubahan dan perkembangan seiring dengan perkembangan bidang ilmu dan
teknologi.
Perkembangan yang terjadi
terkait dengan cara penyimpanan dan pencarian informasi dengan teknologi
komputer telah dan akan semakin banyak mempengaruhi dunia pendidikan. Teknologi
komunikasi melalui internet merupakan sumber belajar yang sangat potensial
untuk menghubungkan peserta didik dengan beragam sumber belajar yang sulit
dijangkau secar langsung. Hal ini berakibat pada perlunya guru meredefinisi
pengetahuan dan keterampilannya tentang persiapan, pelaksanaan, instrument dan
strategi asesmen dalam pembelajaran.
Pembelajaran yang baik
pada abad ini harus mampu menjelaskan bagaimana seharusnya peserta didik
belajar dan berpikir. Pembelajaran dalam abad ke XXI ini harus lebih dari
sekedar menghafal fakta dan memahami konsep-konsep umum materi pelajaran
seperti yang telah terjadi pada awal era perkembangan industri dan masih terus
berlangsung di Indonesia sampai sekarang. Pada abad baru ini pembelajaran harus
lebih dari sekedar bagaimana menjelaskan apa yang dipikirkan oleh guru, yaitu
dengan memodelkan proses pembelajaran yang dialami guru sehingga peserta didik
dapat mengamati dan mempelajari keterampilan proses, keterampilan
meenyelesaikan masalah dan keterampilan berpikir ketika mempelajari suatu
pengetahuan seperti yang dianggap cukup memadai pada era abad ke XX yang telah
kita lewati.
A.
Paradigma Baru Pendidikan
Untuk dapat membangun masyarakat terdidik yang cerdas
serta mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi abad ini, maka hal yang mendesak untuk dilakukan sekarang adalah
menata kembali sistem pendidikan dan pembelajaran. Terkait dengan penataan
sistem pembelajaran, maka guru harus berusaha menggeser paradigma pengelolaan
pembelajaran dari yang dahulunya lebih berpusat pada guru (teacher centered) menjadi lebih berpusat pada peserta didik (student centered). Paradigma baru
seperti ini, bermakna bahwa praktek pembelajaran harus diubah menjadi
pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori-teori belajar yang berorientasi
konstruktivistik.
Pembelajaran harus lebih difokuskan pada pengembangan
kemampuan intelektual yang berlangsung secara terus menerus dan mendorong peserta
didik untuk membangun pemahaman dan pengetahuan sendiri dalam konteks sosial
dan budaya. Tugas belajar didesain sedemikian rupa oleh guru agar menantang dan
menarik perhatian peserta didik sehingga pembelajaran akan dapat mengantarkan
peserta didik untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Paradigma baru
pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh setiap pendidik bidang sains adalah pembelajaran yang mendidik yakni
pembelajaran yang memiliki karakteristik antara sebagai berikut.
a)
menekankan pentingnya proses membelajarkan
bagaimana cara belajar
(learning how to learn);
b)
mengutamakan strategi yang mendorong dan
melancarkan proses belajar
peserta didik;
c)
dirancang untuk membantu peserta didik
agar memperoleh kecakapan
mencari jawaban atau solusi atas suatu masalah;
d)
dirancang dan dilaksanakan bukan untuk sekedar menyampaikan informasi
langsung kepada peserta didik tetapi lebih menekankan pembelajaran berbasis
kompetensi dengan pendekatan kontekstual.
Kenyataan
menunjukkan bahwa masih banyak pendidik yang mempersepsikan dan memaknai
pembelajaran sebagai (a) kegiatan menyampaikan informasi dan pengetahuan kepada
peserta didik secara efektif dan efisien, (b) kegiatan mencipta dan memelihara
relasi antara pendidik dengan peserta didik, dan (c) kegiatan menerapkan kecakapan teknis dalam mengelola sejumlah
peserta didik yang belajar. Pembelajaran yang mendidik akan dapat berlangsung
dengan baik apabila kondisi dan suasana belajar memungkinkan peserta didik
terlibat secara aktif. Pengembangan kondisi dan suasana belajar yang memungkinkan
peserta didik dapat berusaha atas aktivitas dan inisiatifnya sendiri berkaitan
dengn hal-hal yang harus dialami selama
proses pembelajaran berlangsung. Dalam hal ini, kondisi dan suasana belajar
yang kondusif akan dapat tercipta apabila pendidik mampu merancang pengalaman
belajar yang relevan. Salah satu cii dari pengalaman belajar yang mendidik
adalah bahwa hasil belajar dapat diukur sehingga guru dapat menentukan
perolehan peserta didik. Hal ini dapat diidentifikasi melalui kata kerja yang digunakan dalam rumusan
indikator atau tujuan pembelajaran serta pengalaman belajar peserta didik. Kata
kerja tersebut berkaitan dengan domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Semakin operasional kata kerja yang digunakan dalam rumusan indikator dan tujuan,
maka tentu pengalaman belajar peserta disdik akan semakin terarah.
Menurut Lapono
(2008), rancangan program pembelajaran yang mendidik dan sistem asesmen yang
tepat perlu diidentifikasi berdasarkan karakteristik tertentu, yang meliputi
hal-hal berikut ini:
1) Hasil
belajarr peserta didik dinyatakan dengan kompetensi atau kemampuan yang dapat
didemonstrasikan, ditampilkan, atau dapat diobservasi indikator-indikatornya;
2) Kecepatan
belajar peserta didik berbeda dalam mencapai ketuntasan belajar;
3) Asesmen
hasil belajar menggunakan acuan kriteria; dan
4) Adanya
program pembelajaran remediasi dan pengayaan.
Hal penting yang harus
diyakini bersama oleh guru dan peserta didik adalah makna kompetensi yang
terkandung dalam tujuan pembelajaran. Kompetensi bukan saja perlu dipahami
maknanya tetapi juga haeus diyakini manfaatnya bagi kehidupan peserta didk
sekarang dan masa datang. Dalam memahami dan menghayati makna tersebut peserta
didik harus sampai pada taraf mendapatkan harapan dan cita-cita baru dalam
hidup di masa depan. Daam hal ini, diperlukan peran guru profesional yaitu guru
yang mampu berinovasi dan berorientasi ke masa depan yang lebih baik dan lebih
positif bagi dirinya sendiri dan bagi peserta didk. Pembelajaran jangan sampai
mengembangkan kepribadian peserta didik menjadi insan yang pesimis, berfikir
negatif, rendah diri, dan tidak mampu bahkan tidak mau melihat masa depannya (Suparman,
dkk, 2009).
Agar dapat
mendukung perkembangan peserta didik dengan maksimal, maka guru harus merasa
bebas dalam berkreasi, bebas mengekspresikan, pikiran dan perasaannya menurut
situasi saat berlangsungnya proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus
berusaha mencari sendiri cara terbaik dalam menyampaikan visi pembelajaran dan
harus berusaha menguasai strategi dan metode pembelajaran yang dipilihnya. Hal
yang harus ditumbuhkan oleh guru dalan pikiran peserta didik adalah keyakinan
tentang makna kompetensi bagi kehidupannya yang lebih baik saat ini dan masa
depan. Modal penting bagi guru agar mampu mengembangkan pembelajaran yang
mendidik adalah guru harus menguasai pendekatan sistem pembelajaran dan
keterampilan-keteranpilan dasar (teaching
skills) yang bermanfaat dalam memfasilitasi proses belajar peserta didik.
Arah kebijakan guru yang mendasar
dalam penerapan pembelajaran yang mendidik hendaknya menekankan agar tidak
hanya menempatkan peserta didik sebagai alat produksi tetapi pesrta didik harus
di pandang sebagai sumer daya manusia yang utuh. Pendidikan dan pembelajaran
tidak boleh terjebak pada teori-teori ekonomi neoklasik, yakni teori-teori yang
menempatkan manusia sebagai bagian dari alat produksi, dimana penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk menopang kekuasaan dan kepentingan
kapitalis.
Dalam proes pembelajaran perlu di
gembangkan suasana setara melalui komunikasi yang transparan, toleran dan tidak
arogan. Guru dituntut untuk dapat mengembangkan suasana yang dapat memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi setiap peserta didik berkomunikasi dan
mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan potensi dirinya.
Hal ini menjadi sangat penting karena pendidik adalah juga pemimpin yang harus
mengakomodasi berbagai pertanyaan dan kebutuhan peserta didik. Pendidik maupun
peserta harus berusaha saling menghargai dan menghormati pendapat dan pandangan
masing-masing. Suasana keetaraan perlu di kembangkan dengan berorientasi pada
upaya mendorong peserta didik agar mampu menyelesaikan berbagai perbedaan yang
ada di antara sesamanya secara harmonis dan rasional.
Proses pembelajaran harus diarahkan
bagi pengembangan potensi-potensi peserta didik secara menyeluruh dan terpadu.
Pengembangan potensi peserta didik secara tidak seimbang dapat menjadikan
pendidikan cenderung lebih peduli pada pengembangan kepribadian tertentu saja
dan bersifat parsial. Padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan peserta
didik merupakan tujuan yang ingin di capai oleh semua sekolah dan guru. Oleh
karena itu adalah keliru jika guru hanya berpikir bahwa tanggung jawabnya
hanyalah menyampaikan materi pelajaran seuai dengan bidang studi saja ( Gordon, 1997 ).
Secara paedagogis, arah kebijakan
pendidikan terkait dengan pengembangan pendekatan dan metodologi proses
pendidikan dan pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sumber belajar (multi resources learning). Kehadiran
teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan telah mengubah paradigma
pendidikan yang menempatkan guru sebagai fasilitator dan agen pembelajaran
dimana peserta didik dapat memiliki akses yang seluas-luasnya kepada beragam
media untuk kepentingan pendidikannya.
B.
Pembelajaran
Dan Pemberdayaan Potensi Peserta Didik
Pandangan yang
menempatkan guru sbagai satu-satunya sumber informasi dan memaknai pembelajaran
hanya sebagai poses transfer informasi (transfer
of knowledge) dari guru kepada peserta didik semakin banyak mendapat
kritikan. Kelemahan pandangan ini semakin terasa jika di lihat dari pesatnya
perkembangan arus informasi dan media komunikasi yang memungkinkan peserta
didik secara aktif mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan
(aunurrahman, 2009). Dalam kondisi seperti sekarang ini, guru harus menjadi
fasilitator yang mendorong peserta didik untuk belajar secara aktif dan
mandiri.
Dalam kondisi
sekarang ini guru harus mampu memberikan dan arahan kepada peserta didik untuk
mencari berbagai sumber yang dapat membantu peningkatan pengetahuan dan
pemahaman mereka tentang apa-apa yang perlu di pelajari. Hal ini sesuai dengan
amanat UUD 1945 bahwa pendidikan bertujauan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Artinya pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk
memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah yang manusia yang mampu
berpikir kritis dan kreatif., mandiri dan dapat mengembangkan potensi diri
serta masyarakatnya (tilaar, 2000). Di samping persoalan-persoalan khusus
pembelajaran di kelas, dalam kenyataan kehidupan sehari-hari setiap individu
peserta didik tentu akan dihadapkan pada beragam persoalan. Seorang peserta
didik akan menghadapi masalah berkaitan dengan aktivitas atau tugas-tugas
belajarnya. Apabila peserta didik telah menjadi pekerjapun mereka juga akan
berhadapan dengan berbagai masalah berkaitan dengan pekerjaannya. Bahkan setiap
orang mesti akan memiliki masalah terkait dengan kepribadiannya sendiri.
Misalnya saja kita seringkali mendengar seseorang yang mengatakan saya tidak
memiliki semangat, saya seringkali merasa malas, saya merasa kurang percaya
diri, saya merasa sulit menyesuaikan diri dan sebagainya. Timbangan suatu
masalah, tidak terletak pada eksistensi masalah yang dihadapi, akan tetapi
lebih pada persepsi seseorang tentang masalah tersebut. Oleh karena itu,
melalui pengenalan masalah dalam proses pembelajaran, maka peserta didik
dilatih untuk mampu menempatkan posisi dirinya ketika menghadapi suatu masalah.
Terkait dengan hal ini telah dikembangkan apa yang disebut sebagai pembelajaran
berbasis masalah (problem based learning) yang sangat dianjurkan untuk
diterapkan oleh setiap guru dalam bidang pembelajaran sains.
Guru memiliki
peran penting dalam membantu peserta didik untuk menemukan jati dirinya terkait
dengan peran guru dalam memfasilitasi berkembangnya potensi-potensi peserta
didik secara menyeluruh, termasuk mendorong mereka agar mampu memberdayakan
dirinya dalam menghadapi berbagai masalah. Dalam proses pembelajaran,
pengenalan terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam
upaya-upaya pemberdayaan diri (self empowering). Dalam bidang sains, peserta
didik sejak di sekolah dasar sudah diperkenalkan dengan materi tentang mengenal
diri sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri berarti pula peserta didik akan
mengenali kelebihan atau kekuatan yang dimilikinya. Pada sisi lain dapat
berarti bahwa seseorang akan mengenali kelemahannya sendiri sehingga akan
berupaya mencari cara-cara yang tepat untuk mengatasinya. Jika peserta didik
tidak mampu memahami kelemahan dirinya sendiri, maka akan berpotensi membawa
peserta didik tersebut pada ketidakberhasilan.
Dalam bukunya yang
berjudul The Seven Habits of Efective People Steven R. Covey, mengetengahkan
teori yang disebut “Proses Kematangan Berkelanjutan” (Continum Maturity
Process). Menurut teori tersebut, manusia berkembang dari tahap ketergantungan
(dependence) menuju tahap kemandirian (interdependence). Dalam usia dini setiap
individu merupakan makhluk yang tidak berdaya dan sangat didik akan menghadapi
masalah berkaitan dengan aktivitas atau tugas-tugas belajarnya. Apabila peserta
didik telah menjadi pekerjapun mereka juga akan berhadapan dengan berbagai
masalah berkaitan dengan pekerjaannya. Bahkan setiap orang mesti akan memiliki
masalah terkait dengan kepribadiannya sendiri. Misalnya saja kita seringkali
mendengar seseorang yang mengatakan saya tidak memiliki semangat, saya
seringkali merasa malas, saya merasa kurang percaya diri, saya merasa sulit
menyesuaikan diri dan sebagainya. Timbangan suatu masalah, tidak terletak pada
eksistensi masalah yang dihadapi, akan tetapi lebih pada persepsi seseorang tentang
masalah tersebut. Oleh karena itu, melalui pengenalan masalah dalam proses
pembelajaran, maka peserta didik dilatih untuk mampu menempatkan posisi dirinya
ketika menghadapi suatu masalah. Terkait dengan hal ini telah dikembangkan apa
yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang sangat dianjurkan untuk diterapkan
oleh setiap guru dalam bidang pembelajaran sains.
Guru memiliki
peran penting dalam membantu peserta didik untuk menemukan jati dirinya terkait
dengan peran guru dalam memfasilitasi berkembangnya potensi-potensi peserta
didik secara menyeluruh, termasuk mendorong mereka agar mampu memberdayakan
dirinya dalam menghadapi berbagai masalah. Dalam proses pembelajaran,
pengenalan terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam
upaya-upaya pemberdayaan diri (self
empowering). Dalam bidang sains, peserta didik sejak di sekolah dasar sudah
diperkenalkan dengan materi tentang mengenal diri sendiri. Pengenalan terhadap
diri sendiri berarti pula peserta didik akan mengenali kelebihan atau kekuatan
yang dimilikinya. Pada sisi lain dapat berarti bahwa seseorang akan mengenali
kelemahannya sendiri sehingga akan berupaya mencari cara-cara yang tepat untuk
mengatasinya. Jika peserta didik tidak mampu memahami kelemahan dirinya
sendiri, maka akan berpotensi membawa peserta didik tersebut pada
ketidakberhasilan.
Dalam bukunya yang
berjudul The Seven Habits of Efective
People Steven R. Covey, mengetengahkan teori yang disebut “Proses
Kematangan Berkelanjutan” (Continum Maturity
Process). Menurut teori tersebut, manusia berkembang dari tahap
ketergantungan (dependence) menuju
tahap kemandirian (interdependence).
Dalam usia dini setiap individu merupakan makhluk yang tidak berdaya dan sangat tergantung pada bantuan orang lain.
Apabila telah berusia remaja, maka akan lebih mampu berjuang untuk mandiri dan
setelah sampai pada fase dewasa, individu manusia tidak hanya dapat bekerja
untuk dirinya sendiri, tetapi dapat membantu orang lain, atau sebaliknya
membutuhkan bantuan orang lain. Dalam perjalanan hidup individu dari masa
anak-anak, masa remaja, dewasa dan masa tua terjadi proses kematangan yang
berkesinambungan (Aunurrahman, 2009).
Pemberdayaan potensi peserta didik dalam proses
pembelajaran harus berpijak pada fakta dan realita. Kegiatan pembelajaran harus
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan sense of
interest, sense of curiosity, sense of reality, dan sense of discovery dalam
mempelajari fakta untuk mencari kebenaran. Untuk dapat mencapai keberhasilan atau sukses yang didambakan oleh setiap
individu, maka diperlukan upaya-upaya sistematik dan intensif untuk
memberdayakan diri sendiri. Pemberdayaan diri, menurut kajian psikologi sebaiknya dimulai dengan membangun konsep diri positif. Konsep diri
positif mengandung arti bahwa individu harus mampu meletakkan atau memposisikan dirinya sebagai individu yang berdaya,
tidak memandang dirinya dari perspektif negatif. Konsep diri yang positif
diantaranya ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut.
1.
Pengetahuan
yang luas tentang dirinya sendiri.
2.
Memahami
kelebihan dan kelemahan diri.
3.
Memiliki
keinginan yang kuat untuk berubah.
4.
Mampu
mcnghargai orang dan mampu menerima orang lain apa adanya.
5.
Mampu
sccara terbuka menerima kritikan orang lain.
6.
Memiliki
sistem pertahanan
diri yang kuat.
7.
Memiliki
kontrol internal diri.
Sebaliknya seseorang harus terus berupaya menghindari
konsep diri yang negatif dengan ciri-ciri seperti di bawah ini.
1.
Pengetahuan tentang diri sendiri sempit.
2.
Memiliki
pemahaman diri yang parsial.
3.
Tidak
memiliki keinginan yang kuat untuk berubah.
4.
Kurang
menghargai dan sulit menerima orang lain apa adanya.
5.
Tidak
senang kalau dikritik.
6.
Mudah
terpengaruh oleh lingkungan negative.
7.
pengendalian/kontrol
diri cksternal
Jika seseorang mampu membentuk citra diri atau konsep
diri positif maka secara bertahap dia akan dapat mengembangkan diri menjadi
pribadi yang unggul. Beberapa ciri
pribadi yang unggul menurut Irmim dan Suharyo (2004), antara lain ialah: (a) memiliki fisik
dan mental yang kuat, (b)
memiliki kepercayaan diri yang kuat, (c) tidak mudah putus asa, (d) memiliki rasa tanggung
jawab yang tinggi, (e) bisa melayani bawahan, teman dan atasan, (f)
selalu berpikir kemasa depan, (g) memiliki motivasi kerja yang tinggi, (h) senantiasa
mengembangkan potensi diri,
(i) memiliki inisiatif dan daya kreasi, (j) mampu berkomunikasi dengan baik, dan (k) memiliki
loyalitas yang tinggi.
Melalui proses pembelajaran, guru dituntut untuk mampu
membimbing dan memfasilitasi peserta didik agar mereka dapat memahami kekuatan
serta kemampuan yang mereka miliki dan selanjutnya memberikan motivasi agar
peserta didik terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin untuk mewujudkan keberhasilan
berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Untuk dapat memfasilitasi agar
peserta didik dapat lebih mengenal kemampuannya, maka langkah awal yang perlu
dilakukan guru adalah berusaha mengenal peserta didiknya dengan baik. Guru
perlu mengenal lebih mendalam tentang bakat, minat, motivasi, harapan-harapan
peserta didik serta beberapa dimensi khusus kepribadiannnya.
Dalam kegiatan pembelajaran,
guru dituntut untuk mengembangkan sikap trbuka dan sabar agar dapat
memahami peserta didiknya dengan akal
sehat. Drost (2000) mengemukakan bahwa
selayaknya guru tidak secara gegabah melihat kesalahan peserta didik, akan tetapi lebih baik
mencari sisi positif dan
berusaha memberikan pujian. Seandainya
perlu diberikan teguran, maka hendaknya tidak
dilakukan dengan nada marah dan membenci. Secara lebih spesifik, beberapa dimensi kemampuan peserta didik yang
perlu diperhatikan dalam upaya
pemberdayaan individu peserta didik melalui proses belajar ini adalah:
a.
Mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri.
b.
Meningkatkan rasa percaya diri.
c.
Dapat meningkatkan kemampuan menghargai diri dan
orang lain.
d.
Meningkatkan kemandirian dan inisiatif untuk memulai
perubahan.
e.
Meningkatkan
komitmen, tanggung jawab dan motivasi internal.
f.
Meningkatkan
kemampuan mengatasi masalah secara kreatif danpositif.
g.
Meningkatkan kemampuan
untuk melaksanakan tugas
secara professional.
h.
Mengembangkan
kemampuan mengendalikan diri dan tidak mudah menyalahkan orang lain.
i.
Meningkatkan
kemampuan membina hubungan interpersonal yang baik.
j.
Meningkatkan
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan
C. Tantangan
Pembelajaran Abad ke-21
secara umum kita dapat memahami bahwa sesungguhnya
tantangan yang dihadapi oleh bangsa indonesia dewasa ini adalah bersifat
multidimensi. Oeh karena itu,misi untuk mencerdasakan kehidupan bangsa masih
tetap perlu diupayakan oleh setiap pendidik dan orang tua. Perlu pula
dipikirkan tentang pendidikan seperti apakah yang mampu menunjang kebutuhan
negara dan bangsa indonesia dalam menghadapi tantangan abad ini.
Pendidikan yang relevan dengan upaya menghadapi
tantangan zaman yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi dan
membentuk watak ynag relevan dengan upaya menghadapi tantangan zaman.pendidikan
dan pembelajaran yang bermakna sebagai proses pemberdayaan kemampuan berfikir
kritis dan berfikir kreatif,kemampuan menyelesaikan masalah ,kemampuan bekerja
berdasarkan etos kerja yang baik,kemampuan meneliti dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek),dan membudayakan sikap mandiri,bertanggung
jawab,demokratis,jujur ,dan bermoral. Pertanyaannya adalah model pembelajaran
seperti apakan yang dapat bermakana sebagai proses pemberdayaan.
Apabila pembelajaran dapat merangsang ,menantang,dan
menyenangkan.seperti yang dikemukakan oleh whitehead sampai tingkat “jay of
discovery” maka diharapkan proses pembelajaran itu dapat bermakna sebagai
proses pemberdayaan dan proses
penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan (soedijarto,2009).Dalam
kaitan dengan hal ini unesco,melalui international commission on euication for
the 21” century (geremeek,1986) yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia
“from technologically divided world where high technology is privilage of the
few to technologically united world”
dengan mengusulkan empat pilar pendidikan yakni belajar untuk mengetahui
(learning to know),belajar untuk melakukan (learning to do),belajar untuk
menjadi learning to be),dan belajar untuk hidup bersama – sama atau belajar
bersosialisasi (learning to live together).
Kemampuan guru untuk menerapkan empat pilar pendidikan
atau pilar belajar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan
peserta didik untuk menguasai cara memperoleh pengetahuan,berkesempatan
berinteraksi secara aktif sesama peserta didik sehingga dapat mengembangkan
potensi diri dan menemukan jati dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya
dapat berlangsung dengan difasilitasi
oleh guru yang penuh konsentrasi,peralatan yang memadai,materi yang terpilih
dan waktu yang cukup secara fleksibel.
Empat pilar pendidikan ditujukan agar proses
pendidikan dapat menghadapi tantangan abad ke 21. Whitehead menyatakan
bahwa the nead for change from narrow
nationalism to universalism,from ethnic to cultural prejudise to
tolerance,understanding and pluralism,from autocracy to democracy its various
manifastations,and from technologically divided world where high technology is
privilage of the is privilage of the few to a technologically united world.places enormous responsibilities on
teacher who participate in the moulding
of the characiers and minds of the new generations” pernyataan tersebut
menunjukkan ,betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari
pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat
melakukan transformasi budaya suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah
digariskan oleh para pendidri republik indonesia ini sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 (Soedijartono,2009).
Proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan cara
untuk mengetahui (ways of knowing) ataupun pola inkuiri (mode of
inquiry)memungkinkan peserta didik untuk terus belajar untuk memperoleh
pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan dari hasil temuan
orang lain.oleh karena itu hakikatnya
belajar untuk mengetahui (learning to know) adalah proses pembelajaran yang
memeungkinkan peserta didik untuk menguasai teknik mempelajari ilmu pengetahuan
dan bukan semata – mata memperoleh pengetahuan. Menurut scheffler pilar ini
pada hakikatnya terkait dengan relevansi epistemologi yang mengutamakan proses
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses meneliti dan
mengkaji.
Pernyataan lengkap dari scheffler ialah
epistemological relevance in short requires us to reject both myth and mystic it requires not contact but criticism,not
immersion in and conceptual
given,but the flexiblity of mind capable of transcending,reordering,and
expanding, the given.”an education that fosters criticism and conceptual
flexiblity transcends its environtment and by crecting a mythical subtitue for
this world but rather for a systematic and penetrating comprehension of
it.selanjutnya dia menguraikan pengkajian dalam kalimat berikut : Theoritical
Inquiry indenpedently persued has the most powerful potential for the
analysis and transformation of practice.
The bearing of inquiry upon practice is moreover of the gretest educational
interest. Such interest is not contary to recent emphases ,exhausted in a
concern for inquiry while the structure of several disciplines.student should
be employ the information and technique of disciplines in analisys
criticism,and alteration of their practical outlook. Habits of practical
diagnosis,critique and excution upon responsible inquiry need the suplement
theoritical attitude and disciplinary profidencies in the traing of the young.
Pandangan scheffler tentang relevansi pendidikan
sangat terkait dengan “learning to know”pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti
halnya phenix, scheffler memandang pentingnya pilar ini,untuk berangkat dari
disiplin ilmu pengetahuan karena bagi mereka “mode of inquiry” dari disiplin
ilmu adalah bntuk yang paling tertinggi dari berfikir. Dalam kaitan ini dia
menyatakan bahwa “in the revolutionary perspective,thought is an adaptive
instrument for overcoming enviromental difficulties. Scientific inquiry the most
explicity form of thought is the most explicity problem directed.” Dari
pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan pilar “learning to known) adalah penerapan
paradigma ini akan dapat dihasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan kecakapan akademik yang
tinggi dan mampu berkompetisi dalam pergaulan global.
Sasaran dari pilar pertama yakni learning to know adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang akan mengantarkan peserta didik pada ketercapaian keseimbangan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun pilar kedua yakni learning to do, sasarannya adalah
kemampuan bekerja. Dalam komunitas masyarakat industri, tuntutan tidak lagi
cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan
kemampuan intelektual yang handal untuk melaksanakan pekerjaan seperti controling, monitoring, maintaining,
designing, organizing yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang
sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Melalui konsep bekerja untuk
melakukan, maka guru akan berperan dalam mempersiapkan peserta didik untuk
memasuki dunia kerja yang penuh tantangan. Belajar melakukan sesuatu dalam
situasi yang konkrit dapat membantu peserta didik untuk tidak hanya menguasai
keterampilan yang bersifat mekanistik saja melainkan akan mengantarkan mereka
untuk menguasai kemampuan berkomunikasi. Bekerjasama, serta mengelola dan
mengatasi konflik.
Penerapan pilar belajar untuk hidup bersama (learning to live together) menjadi
bagian dari tugas pendidik yang bertujuan agar pada saat yang bersamaan peserta
didik memperoleh dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam
tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Mendidik orang untuk
mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan menyadari
adanya saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dalam waktu
sesaat saja melainkan perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi kebersamaan
dalam waktu yang relatif lama. Paradigma pembelajaran kooperatif sebenarnya
dikembangkan dalam rangka menunjang keberhasilan pilar belajar untuk hidup dan
bekerjasama ini.
Dalam strategi pembelajaran kooperatif, peserta didik
dikondisikan untuk belajar bersama-sama dalam kelompok heterogen guna membahas
pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang terkait dengan pelajaran yang
dihadapinya. Strategi kooperatif dewasa ini sedang digalakkan dalam dunia
pendidikan. Di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa serta Afrika (Slavin,
1995), strategi kooperatif sudah disosialisasikan melalui seminar,
konferensi-konferensi, dan lokakarya serta penerbitan sejak akhir tahun 1980an.
Menurut Pratt (2003), strategi kooperatif sangat penting untuk mendukung
kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri, membimbing dan memfasilitasi proses
pembelajaran, serta mendesain dan mengelola lingkungan belajar. Strategi
kooperatif dapat memberikan pengalaman belajar dengan membangun saling
ketergantungan positif antar sesama anggota kelompok, mengembangkan tanggung
jawab individual, dan keterampilan bekerjasama secara seimbang.
Ketiga pilar pendidikan yang diuraikan di atas
ditujukan untuk melahirkan generasi muda yang mampu mencari informasi,
menemukan ilmu pengetahuan, melaksanakan tugas dalam mengatasi masalah, dan
mampu bekerja sama, bertenggang rasa dan toleran terhadap perbedaan. Bila
ketiganya berhasil dengan memuaskan, maka akan menumbuhkan rasa percaya diri
peserta didik. Hasil akhirnya adalah peserta didik akan berkembang menjadi
manusia yang mampu mengenali dirinya, berkepribadian mantap secara emosional
dan intelektual dan mandiri. Manusia seperti ini akan mampu mengendalikan
dirinya, konsisten dan memiliki rasa empati atau dalam kamus psikologi disebut
memiliki kecakapan emosional (emotional
intelligence). Inilah makna dari belajar untuk menjadi (learning to be) yaitu muara akhir dari
ketiga pilar yang lain.
Proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung
selama ini pada umumnya belum mampu membantu peserta didik untuk mencapai
tingkatan kepribadian seutuhnya. Hal ini terjadi mungkin karena proses belajar
yang dirancang oleh guru belum sampai pada tingkatan joy of discovery pada pilar belajar untuk mengetahui, tingkatan joy of being succesful in achieving objectives, pada pilar
belajar untuk melakukan, dan tingkatan joy
of getting together to achieve common goal pada pilar belajar
bersosialisasi atau hidup bersama. Hanya melalui penerapan paradigma baru
pembelajaran dengan berorientasi pada keempat pilar pendidikan maka upaya
menghadapi tantangan zaman melalui pengembangan kemampuan dan pembentukan watak
akan dapat berhasil. Terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya sebagai tujuan
utama pendidikan akan benar-benar terwujud bila ditunjang dengan sistem
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran dilakukan secara objektif,
komprehensif dan berkesinambungan.
D.
Perkembangan Paradigma Abad 21 Dan Hubungannya
Terhadap Kurikulum 2013
Perkembangan dunia abad
21 ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam segala
segi kehidupan. Teknologi menghubungkan dunia yang melampaui sekat-sekat
geografis sehingga dunia menjadi tanpa batas. Teknologi transportasi udara
memberikan kemudahan menempuh perjalanan panjang. Media on-line beritasatu.com
merilis waktu tempuh Newark – Singapura sejauh 9.535 mil dengan penerbangan
non-stop selama 18 jam. Melalui media televisi, kejadian di suatu tempat dapat
secara langsung diketahui dan dilihat di tempat lain yang berjarak sangat jauh
pada waktu bersamaan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melalui
internet memberi kemudahan pengiriman uang pada waktu yang sangat singkat,
bahkan real time. Perkembangan teknologi menjadikan terjadinya perubahan
kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja.
Tantangan masa depan yang harus dihadapi oleh generasi
mendatang. Antara lain : 1) Globalisasi: WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA, 2)
Masalah lingkungan hidup, 3) Kemajuan teknologi informasi, 4) Konvergensi ilmu
dan teknologi, 5) Ekonomi berbasis pengetahuan, 6) Kebangkitan industri kreatif
dan budaya, 7) Pergeseran kekuatan ekonomi dunia, 8) Pengaruh dan imbas tekno
sains, 9) Mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan. Maka sebagai
generasi yang bijak maka perubahan dan permasalahan-permasalahan itu harus
dapat kita sikapi dengan bijaksana sehingga
perubahan dan permasalahan itu dapat kita selesaikan dengan baik dan
dapat meningkatkan martabat kita sebagai manusia.
Standar kinerja akademik terjadi seiring dengan
perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) dan pertumbuhan ekonomi
global. Perubahan standar menuntut penyesuaian dunia pendidikan dalam
menyiapkan peserta didik. Tekonologi informasi dan komunikasi memudahkan
komunikasi antar anggota masyarakat dan dunia kerja yang tidak terbatas oleh
ruang dan waktu. Pertumbuhan ekonomi global menuntut persaingan yang semakin
ketat dalam setiap aspek kehidupan, pasar tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat
geografis, namun dusah menjadi pasar global. Siswa abad 21 perlu dibekali
dengan kemampuan TIK dan mencermati perkembangan ekonomi global. Proses
pembelajaran harus mengakomodir hal tersebut.
Kesuksesan seorang siswa tergantung pada kecakapan
abad 21, sehingga siswa harus belajar untuk memilikinya. Partnership for 21st
Century Skills mengidentifikasi kecakapan abad 21 meliputi : berpikir kritis,
pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi. Berpikir kritis berarti siswa
mampu mensikapi ilmu dan pengetahuan dengan kritis, mampu memanfaatkan untuk
kemanusiaan. Trampil memecahkan masalah berarti mampu mengatasi permasalahan
yang dihadapinya dalam proses kegiatan belajar sebagai wahana berlatih
menghadapi permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya. Ketrampilan
komunikasi merujuk pada kemampuan mengidentifikasi, mengakses, memanfaatkan dan
memgoptimalkan perangkat dan teknik komunikasi untuk menerima dan menyampaikan
informasi kepada pihak lain. Terampil kolaborasi berarti mampu menjalin
kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan sinergi. Sedang menurut National
Education Association untuk mencapai sukses dan mampu bersaing di masyarakat
global, siswa harus ahli dan memiliki kecakapan sebagai komunikator, kreator,
pemikir kritis, dan kolaborator.
Mensikapi fenomena perubahan kebutuhan tenaga kerja
dan kemajuan, sekolah perlu dipersiapkan dan menyiapkan diri dalam menghadapi
tantangan abad 21. Pemahaman terhadap kecakapan abad 21 menjadi penting
disampaikan kepada siswa. Pencapaian kecakapan abad 21 dilakukan dengan
memahami karakteristik, teknik pencapaian dan strategi pembelajaran yang dilakukan.
Oleh karenanya lahirlah kurikulum 2013 sebagai penunjang paradigma pendidikan
abad 21 ini.
Tema pengembangan Kurikulum 2013 adalah dapat
menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif
melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan
pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Dalam acara sosialisasi tersebut juga
dijelaskan tentang alasan untuk dikembangkannya Kurikulum 2013 untuk menyiapkan generasi masa depan yang
memiliki kemampuan, berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan
kritis,kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan,kemampuan
menjadi warga negara yang bertanggungjawab,kemampuan mencoba untuk mengerti dan
toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat yang
mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk
bekerja ,memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, memiliki rasa
tanggung jawab terhadap lingkungan.
Kurikulum 2013 yang akan diimplementasikan pada tahun
pelajaran 2013-2014 ini, merupakan penyempurnaan Kurikulum KBK dan KTSP
memerlukan tahapan mulai sosialisasi sampai implementasi harus melalui
perjuangan dan kerja keras dari semua pihak yang peduli terhadap mutu
pendidikan. Banyak tanggapan dari praktisi, pengamat serta pakar dunia
pendidikan baik yang pro maupun yang kontra, hal ini merupakan pertanda positif
yang berarti peduli terhadap pendidikan
sehingga banyak masukan dan kritik yang membangun dalam memperbaiki hal-hal yang
harus disempurnakan. Kurikulum 2013 jika dikatakan sebagai perubahan ini juga
memerlukan usaha untuk dapat diterima di semua pihak, perubahan paradigma
bagaimana menyusun sistem pembelajaran, metode pembelajaran yang mampu menjawab
tantangan masa depan, tantangan abad 21.
Strategi Pembelajaran Abad 21
Paradigma pembelajaran abad 21 menekankan kepada
kemampuan siswa untuk berpikir kritis, mampu menghubungkan ilmu dengan dunia
nyata, menguasai teknologi informasi komunikasi, dan berkolaborasi. Pencapaian
ketrampilan tersebut dapat dicapai dengan penerapan metode pembelajaran yang
sesuai dari sisi penguasaan materi dan ketrampilan. Kemampuan berpikir kritis
siswa dibangun melalui pembelajaran yang menerapkan taksonomi pembelajaran
sebagaimana disampaikan oleh Benyamin Bloom tahun 1956 yang telah direvisi pada
tahun 2001. Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga ranah yaitu ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor. Tujuan pendidikan mengalami penyempurnaan
pada tahun 2001 (Anderson dan Krathwohl, 2001). Taksonomi pembelajaran dikelompokan
dalam dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif.
Dimensi proses pengetahuan terdiri empat bagian yaitu
faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Krathwohl (2002), Anderson
& Krathwohl (2001) menyebutkan bahwa pengetahuan faktual menekankan pada
pengetahuan faktual, yaitu pengetahuan yang berupa potongan-potongan informasi
yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu
tertentu, yang mencakup pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang
bagian detail. Pengetahuan faktual menyajikan fakta-fakta yang muncul dalam
pengetahuan. Pengetahuan konseptual, yaitu pengetahuan yang menunjukkan saling
keterkaitan antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang lebih besar dan
semuanya berfungsi sama-sama, yang mencakup skema, model pemikiran dan teori.
Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan
sesuatu, baik yang bersifat rutin maupun yang baru, dan Pengetahuan
metakognitif, yaitu mencakup pengetahuan tentang kognisi secara umum dan
pengetahuan tentang diri sendiri.
Dimensi poses pengetahuan terbagi dalam tiga yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor (Anderson & Krathwohl, 2001:67-68) ranah
kognitif terbagi dalam enam tingkat yaitu : 1) mengingat (remember) :
mengambil, mengakui, dan mengingat pengetahuan yang relevan dari memori jangka
panjang; 2) memahami (understand): membangun makna dari lisan, pesan tertulis,
dan grafis melalui menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas,
menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan; 3) menerapkan (apply):
melaksanakan atau menggunakan prosedur melalui pelaksana, atau menerapkan; 4)
menganalisis (analyze): breaking materi menjadi bagian-bagian penyusunnya,
menentukan bagaimana bagian-bagian berhubungan satu sama lain dan yang secara
keseluruhan struktur atau tujuan melalui membedakan, mengorganisasikan, dan
menghubungkan; 5) evaluasi (evaluate): membuat penilaian berdasarkan kriteria
dan standar melalui memeriksa dan mengkritisi; dan 6) menciptakan (create):
menempatkan elemen bersama-sama untuk membentuk suatu kesatuan yang utuh atau
fungsional, reorganisasi elemen ke pola baru atau struktur melalui
menghasilkan, perencanaan, atau menghasilkan.
Beers menegaskan bahwa strategi pembelajaran yang
dapat memfasilitasi siswa dalam mencapai kecakapan abad 21 harus memenuhi
kriteria sebagai berikut : kesempatan dan aktivitas belajar yang variatif;
menggunakan pemanfaatan teknologi untuk mencapai tujuan pembelajaran;
pembelajaran berbasis projek atau masalah; keterhubungan antar kurikulum
(cross-curricular connections); fokus pada penyelidikan/inkuiri dan inventigasi
yang dilakukan oleh siswa; lingkungan pembelajaran kolaboratif; visualisasi
tingkat tinggi dan menggunakan media visual untuk meningkatkan pemahaman;
menggunakan penilaian formatif termasuk penilaian diri sendiri.
Kesempatan dan aktivitas belajar yang variatif tidak
monoton. Metode pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi yang hendak dicapai.
Penguasaan satu kompetensi ditempuh dengan berbagai macam metode yang dapat
mengakomodir gaya belajar siswa auditori, visual, dan kenestetik secara
seimbang. Dengan demikian masing-masing siswa mendapatkan kesempatan belajar
yang sama. Proses pembelajaran yang mampu mengakomodir kemampuan berpikir
kritis siswa tidak dapat dilakukan dengan proses pembelajaran satu arah.
Pembelajaran satu arah, atau berpusat pada guru, akan membelenggu kekritisan
siswa dalam mensikapi suatu materi ajar. Siswa menerima materi dari satu
sumber, dengan kecenderungan menerima dan tidak dapat mengkritisi. Kemampuan
berpikir kritis dibangun dengan mendalami materi dari sisi yang berbeda dan
menyeluruh.
Kemampuan menghubungkan ilmu dengan dunia nyata
dilakukan dengan mengajak siswa melihat kehidupan dalam dunia nyata. Memaknai
setiap materi ajar terhadap penerapan dalam kehidupan penting untuk mendorong
motivasi belajar siswa. Secara khusus pada dunia pendidikan dasar yang relatif
masih berpikir konkrit, kemampuan guru menghubungkan setiap materi ajar dengan
kehidupan nyata akan meningkatkan penguasaan materi oleh siswa. Menghubungkan
materi dengan praktik sehari-hari dan kegunaannya dapat meningkatkan
pengembangan potensi siswa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan:
Dalam rangka untuk menghadapi tantangan era global,
guru perlu mencari dan menemukan paradigma baru terkait tugas dan perannya sebagai
pendidik. Paradigma pembelajaran yang relevan dengan tuntutan era ilmu
pengetahuan ini adalah pembelajaran yang mendidik. Paradigma pembelajaran yang
mendidik memiliki karateristik seperti menekankan proses membelajarkan
bagaimana belajar (learning how to learn),
mengutamakan strategi yang mendorong dan melancarkan proses belajar peserta
didik, diarahkan untuk membantu peserta didik memperoleh kecakapan mencari
jawaban atau solusi atas suatu pertanyaan atau masalah dengan keterampilan
berpikir kritis dan kreatif. Dalam rangka itulah guru perlu memperhatikan empat
pilar pendidikan yakni belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama-sama atau belajar
bersosialisasi (learning to live together).
B. Saran
Sebaiknya guru selalu mengembangkan dan mengasah 4
kemampuan dasar seorang guru yaitu kemampuan pedagogi, professional,
kepribadian, dan social karena hal tersebut harus benar-benar matang didalam
menghadapi paradigm pendidikan di abad XXI.
DAFTAR PUSTAKA
Jufri, Wahab
A. 2010. Belajar dan Pembelajaran Sains.
Mataram: Arga Puji Press.
Terima kasih atas tulisan mengenai tantangan guru di abad 21. Memang benar, selaku pendidk kita harus siap menerima kenyataan pesatnya perkembangan dunia digital, setiap sat terjadi perubahan di segala bidang kehidupan , maka jika kita tidak bisa mengikuti perkembangan iptek maka habislah kesempatan kita untuk tetap exsit. Terima kasih
BalasPadam